Barangsiapa
yang menjadikan dunia ambisinya, niscaya Allah cerai-beraikan urusannya dan
dijadikan kefakiran (kemiskinan) menghantui kedua matanya dan Allah tidak
memberinya harta dunia kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Dan
barangsiapa menjadikan akhirat keinginan (utamanya), niscaya Allah kumpulkan
baginya urusan hidupnya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan
kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya (dengan tunduk).” (HR Ibnu Majah)
Jika
ada emas sebesar gunung yang seorang manusia miliki. Tetap saja hal itu tidak
akan membuatnya puas. Dunia ibarat air laut. Jika kita meminumnya, bukanlah
dahaga yang hilang, tapi haus itu akan makin bertambah, dan makin diminum makin
bertambah hausnya. Sehingga ia mati karenanya. Dunia jika menjadi orientasi
hidup sungguh akan membuat kita terpuruk dalam kehinaan, kegusaran, dan
kehampaan hidup. Ujungnya ialah penyesalan. Firaun yang diberikan kekuasaan
hingga mencapai keangkuhan manusia yang tiada tara hingga mendeklarasikan
dirinya “akulah tuhan-mu”. Ia mati dalam kehinaan. Qarun yang diberikan harta
berlimbah mengakhiri hidupnya dengan kesombongan “semua harta ini karena
kepintaran dan keahlianku”. Namanya dicatat sebagai peringatan bagi para
hartawan sepanjang zaman.
Menjadi
seorang Muslim yang menjadikan Allah sebagai tujuan hidup memiliki orientasi
yang jauh dan murni dari sekedar remah-remah duniawi. Jika dibandingkan dengan
bangkai seekor anjing, bahkan dunia lebih hina dari itu. Demikian nasihat
Rasulullah saw kepada sahabatnya dalam sebuah perjalanan. Apakah kita memilih
suatu tempat yang penuh kubangan lumpur yang kotor dan orang-orang berkubang di
sana, berebut lumpur yang mereka sangka emas. Sungguh kita telah tertipu dan
menanggalkan akal sehat kita jika demikian adanya. Sedangkan di sebelahnya ada
tempat yang mulia, luhur, dan penuh cahaya dan kesucian.
Menjadi
muslim bukan berarti mengabaikan urusan dan kepentingan dunianya. Menjadi
muslim bukan berarti kehilangan semangat untuk memupuk kesempatan dan kemudahan
hidup. Bukan berarti kehilangan ambisi, cita-cita, dan rencana untuk berbuat
dan bermakna di dunia. Jika demikian, maka ia telah gagal memahami teladan
hidupnya yang agung. Yang menjadi ruh, inti hidup, pusat kehidupan, titik
berangkat, dan tujuan akhirnya ialah TuhanNya.
Minallah,
ma’allah, ilallah.. Dari Allah, bersama Allah, menuju Allah.
Dari
Allah kita ada dan kepadaNya kita kembali. Kita lahir ke dunia dalam satu
perjanjian yang agung, pernyataan tauhid sejak di alam barzah. Kita diciptakan
dengan tiupan ruhNya, kita membawa sifat-sifatNya yang agung dan suci. Dalam
diri kita ada fitrah untuk mengasihi, menyayangi, mencipatakan, berkarya,
melindungi, dan semua sifat Allah yang tentu saja dalam keterbatasan dan
kelemahan. Dalam fitrah kita juga ada potensi tanah, duniawi, yang dengannya
manusia bisa melanjutkan keberlangsungannya di dunia. Kita lahir dalam sebuah
kemuliaan, dengan amanah besar yang ditolak oleh makhluk lain untuk menjadi
khalifah. Yang dengan potensi dan kemuliaan itu malaikat sujud hormat kepada
manusia. Maka sudahkah kita memandang diri ini sesuai dengan tujuannya
diciptakan. Sudahkah kita mengingat dan menjadikan hakikat hidup kita sebagai
landasan, titik keberangkatan dari semua cita-cita dan ambisi kita. Sudahkah
kita selalu mengingat hal ini sebagai identitas dan konsep diri kita. Jika
belum, barangkali suatu saat engkau akan ditegur olehNya, karena engkau sedang
berdiri di atas pijakan yang rapuh.
Ma’allah,
bersama Allah. Dalam perjalanannya manusia tidak dibiarkan dan ditelantarkan.
Bumi dan seisinya ialah sarana dan nikmat yang Allah anugerahkan. Dan yang
lebih besar lagi sebagai bukti kasihnya, tidaklah kita dibiarkan hidup dalam
kebingungan tentang bagaimana menjalani hidup ini. Ada tuntunan dan jalan
bagaimana hidup kita semestinya yang akan membawa manusia dalam harmoni dan
kebahagiaan. Ada utusan yang menebarkan cinta dan kasih sayangNya, yang berat
terasa oleh beliau penderitaan dan kesulitan yang manusia alami saat mereka
berpaling dari petunjuknya. Amat menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi
seluruh manusia. Yaa ayyuhal mustafa, shallu’alaihi wa salam. Sertakan Allah
selalu dalam hidupmu maka engkau akan merasa aman dalam setiap langkahmu.
Gantungkan semua harapan dan cita-citamu kepada Ia yang maha kuat, maka engkau
akan yakin bahwa engkau akan mendapatkan yang terbaik. Serahkan semua urusanmu
kepada Allah, maka engkau akan tenang karena engkau bersama Pemilik dan
pengatur segala urusan. Ada Allah yang menjaga dan memeliharamu. Ia tak akan
membiarkan hamba yang dicintainya dalam kesedihan. Hidupmu akan ringan,
tentram, dan harmoni.
Ilallah,
menuju Allah. Apalah arti hidup ini. Apa arti angka enam puluh, tujuh puluh.
Apakah itu akan sekedar menjadi penanda waktu kehidupan usiamu. Hendak kemana
diri kita, untuk apa semua ini? Orientasi lah yang membedakan nilai apa yang
sedang dan ingin kita lakukan. Untuk apa semua kepandaian, keuasaan, dan harta
yang engkau miliki. Untuk apa semua susah payah yang engkau jalani dalam
peran-peranmu? Engkau hanya tanah dan akan kembali pada tanah? Suatu hari di
akhir usiamu akankah engkau berpikir bahwa hidup ini hanya sekelebat waktu
dhuha atau sore saja? Atau engkau merasa lebih baik mati muda atau tak usah
dilahirkan sama sekali? Tragis sekali, sebuah tragedi kehidupan yang dialami
ornag-orang yang kehilangan tujuan. Hanya berkutat dan berputar-putar tanpa
arah. Hanya dengan orientasi, tujuan yang jelas maka hidupmu akan bermakna. Di
akhir hidupmu engkau akan menyadari bahwa nikmat dan kasih sayang Allah yang
paling besar ialah bahwa kamu pernah dilahirkan ke dunia.
Dari Abu Al
‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata : Pada suatu hari
saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau
bersabda : “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat :
Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan
mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah. Jika kamu
minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua
umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak
akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu.
Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu,
niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan
untuk dirimu. Segenap pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah
kering.” (HR.
Tirmidzi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar