Di antara jenis sabar adalah sabar terhadap taqdir Allah. Hal ini berkaitan dengan
tauhid rububiyyah, karena sesungguhnya pengaturan makhluk dan
menentukan taqdir atas mereka adalah termasuk dari tuntutan rububiyyah
Allah Ta'ala.
Perbedaan antara Al-Qadar & Al-Maqduur
Qadar atau taqdiir mempunyai dua makna. Yang pertama: al-maqduur yaitu sesuatu yang ditaqdirkan. Yang kedua: fi'lu Al-Muqaddir yaitu perbuatannya Al-Muqaddir (Allah Ta'ala). Adapun jika dinisbahkan/dikaitkan kepada perbuatannya Allah maka wajib atas manusia untuk ridha dengannya dan bersabar. Dan jika dinisbahkan kepada al-maqduur maka wajib atasnya untuk bersabar dan disunnahkan ridha.
Perbedaan antara Al-Qadar & Al-Maqduur
Qadar atau taqdiir mempunyai dua makna. Yang pertama: al-maqduur yaitu sesuatu yang ditaqdirkan. Yang kedua: fi'lu Al-Muqaddir yaitu perbuatannya Al-Muqaddir (Allah Ta'ala). Adapun jika dinisbahkan/dikaitkan kepada perbuatannya Allah maka wajib atas manusia untuk ridha dengannya dan bersabar. Dan jika dinisbahkan kepada al-maqduur maka wajib atasnya untuk bersabar dan disunnahkan ridha.
Contohnya adalah: Allah telah menaqdirkan mobilnya seseorang terbakar, hal ini berarti Allah telah menaqdirkan mobil tersebut terbakar. Maka ini adalah qadar yang wajib atas manusia agar ridha dengannya, karena hal ini merupakan di antara kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Adapun jika dinisbahkan kepada al-maqduur yaitu terbakarnya mobil maka wajib atasnya untuk bersabar dan ridha dengannya adalah sunnah bukan wajib menurut pendapat yang rajih (kuat).
Sedangkan al-maqduur itu sendiri bisa berupa ketaatan-ketaatan, kemaksiatan-kemaksiatan dan kadang-kadang merupakan dari perbuatannya Allah semata. Adapun yang berupa ketaatan maka wajib ridha dengannya, sedangkan bila berupa kemaksiatan maka tidak boleh ridha dengannya dari sisi bahwasanya hal itu adalah al-maqduur, adapun dari sisi bahwasanya itu adalah taqdir Allah maka wajib ridha dengan taqdir Allah pada setiap keadaan, dan karena inilah Ibnul Qayyim berkata:
"Maka karena itulah kita ridha dengan qadha` (ketentuan Allah) dan kita marah terhadap sesuatu yang ditentukan apabila berupa kemaksiatan."
Maka barangsiapa yang melihat dengan kacamata Al-Qadha` wal Qadar kepada seseorang yang berbuat maksiat maka wajib atasnya ridha karena sesungguhnya Allahlah yang telah menaqdirkan hal itu dan padanya ada hikmah dalam taqdir-Nya. Dan sebaliknya apabila dia melihat kepada perbuatan orang tersebut maka tidak boleh ridha dengannya karena perbuatannya tadi adalah maksiat. Inilah perbedaan antara al-qadar dan al-maqduur.
Bagaimana Manusia Menghadapi Musibah?
Di dalam menghadapi musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:
Pertama: marah, yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى
حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ
فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ
هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
"Dan di antara manusia ada orang yang
beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh
kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu
bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di
akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (Al-Hajj:11)
Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan dan
kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya
seperti menampar pipi, merobek saku baju, menjambak rambut, membenturkan
kepala ke tembok dan yang sejenisnya.
Kedua: sabar, yaitu sebagaimana ucapan penyair:
الصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
"Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu."
Maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat
baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada
kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan
tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi
keimanannya melindunginya dari marah.
Ketiga: ridha, dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu
dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama
ketika dinisbahkan/disandarkan terhadap qadha dan qadar
(taqdir/ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah
tersebut, Karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berenang
dalam qadha dan qadar, kemana saja qadha dan qadar singgah maka dia pun
singgah bersamanya, baik di atas kemudahan ataupun kesulitan. Jika
diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah
sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya
kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya.
Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena
dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya.
Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.
Keempat: bersyukur, dan ini adalah derajat yang paling
tinggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya
dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur
ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar
darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada
musibah-musibah agama, dan bahwasanya 'adzab dunia lebih ringan daripada
'adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar
dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah
kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
"Tidaklah
suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan
(dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya."
(HR. Al-Bukhariy no.5640 dan Muslim no.2572 dari 'A`isyah)
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ
وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى
الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
"Tidaklah
seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka,
gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali
Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya." (HR. Al-Bukhariy
no.5641, 5642 dari Abu Sa'id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)
Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut.
Bagaimana Mendapatkan Ketenangan?
Allah Ta'ala berfirman:
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
"Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (At-Taghaabun:11)
Yang dimaksud dengan "beriman kepada Allah" dalam ayat ini adalah beriman kepada taqdir-Nya.
Firman-Nya: "niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya" yaitu
Allah akan memberikan ketenangan kepadanya. Dan hal ini menunjukkan
bahwasanya iman itu berkaitan dengan hati, apabila hatinya mendapat
petunjuk maka anggota badannya pun akan mendapat petunjuk pula,
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ
صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ
وَهِيَ الْقَلْبُ
"Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal
daging, apabila baik maka akan baiklah seluruh jasadnya dan apabila
rusak maka akan rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah segumpal daging
itu adalah hati." (HR. Al-Bukhariy no.52 dan Muslim no.1599 dari
An-Nu'man bin Basyir)
Berkata 'Alqamah (menafsirkan ayat di atas): "Yaitu seseorang yang
ditimpa suatu musibah lalu dia mengetahui bahwasanya musibah tersebut
dari sisi Allah maka dia pun ridha dan menerima (berserah diri
kepada-Nya)."
Tafsiran 'Alqamah ini menunjukkan bahwasanya ridha terhadap taqdir Allah
merupakan konsekuensinya iman, karena sesungguhnya barangsiapa yang
beriman kepada Allah maka berarti dia mengetahui bahwasanya taqdir itu
dari Allah, sehingga dia ridha dan menerimanya. Maka apabila dia
mengetahui bahwasanya musibah itu dari Allah, akan tenang dan senanglah
hatinya dan karena inilah di antara penyebab terbesar seseorang
merasakan ketenangan dan kesenangan adalah beriman kepada qadha dan
qadar.
Tanda Kebaikan & Kejelekan Seorang Hamba
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ
عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ
بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada
hamba-Nya maka Allah akan menyegerakan balasannya di dunia, dan apabila
Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka Allah akan menunda
balasan dari dosanya, sampai Allah sempurnakan balasannya di hari
kiamat." (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat
Ash-Shahiihah no.1220)
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Allah menginginkan kebaikan dan
kejelekan kepada hamba-Nya. Akan tetapi kejelekan yang dimaksudkan di
sini bukanlah kepada dzatnya kejelekan tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah:
وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
"Dan kejelekan tidaklah disandarkan kepada-Mu." (HR. Muslim no.771 dari 'Ali bin Abi Thalib)
Maka barangsiapa menginginkan kejelekan kepada dzatnya maka kejelekan
itu disandarkan kepadanya. Akan tetapi Allah menginginkan kejelekan
karena suatu hikmah sehingga jadilah hal itu sebagai kebaikan ditinjau
dari hikmah yang dikandungnya.
Sesungguhnya seluruh perkara itu di tangan Allah 'Azza wa Jalla dan
berjalan sesuai dengan kehendak-Nya karena Allah berfirman tentang
diri-Nya:
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
"Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki." (Huud:107)
Dan juga Dia berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
"Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (Al-Hajj:18)
Maka semua perkara itu di tangan Allah.
Dan seseorang tidak akan lepas dari salah/keliru, berbuat maksiat dan
kurang dalam menunaikan kewajiban, maka apabila Allah menghendaki
kebaikan kepada hamba-Nya, akan Allah segerakan baginya balasan (dari
perbuatan dosanya) di dunia, apakah diuji dengan hartanya atau
keluarganya atau dirinya sendiri atau dengan seseorang yang menjadi
sebab adanya ujian-ujian tersebut.
Yang jelas, dia akan disegerakan balasan (dari perbuatan dosanya).
Karena sesungguhnya balasan akibat perbuatan dosa dengan diuji pada
hartanya, keluarganya ataupun dirinya, itu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahan. Maka apabila seorang hamba disegerakan balasannya
dan Allah hapuskan kesalahannya dengan hal itu, maka berarti Allah
mencukupkan balasan kepadanya dan hamba tersebut tidak mempunyai dosa
lagi karena dosa-dosanya telah dibersihkan dengan adanya musibah dan
bencana yang menimpanya.
Bahkan kadang-kadang seseorang harus menanggung beratnya menghadapi
sakaratul maut karena adanya satu atau dua dosa yang dia miliki supaya
terhapus dosa-dosa tersebut, sehingga dia keluar dari dunia dalam
keadaan bersih dari dosa-dosa. Dan ini adalah suatu kenikmatan karena
sesungguhnya 'adzab dunia itu lebih ringan daripada 'adzab akhirat.
Akan tetapi apabila Allah menginginkan kejelekan kepada hamba-Nya maka
akan Allah biarkan dia dalam keadaan penuh kemaksiatan dan akan Allah
curahkan berbagai kenikmatan kepadanya dan Allah hindarkan malapetaka
darinya sampai dia menjadi orang yang sombong dan bangga dengan apa yang
Allah berikan kepadanya.
Dan ketika itu dia akan menjumpai Rabbnya dalam keadaan bergelimang
dengan kesalahan dan dosa lalu dia pun di akhirat disiksa akibat
dosa-dosanya tersebut. Kita meminta kepada Allah keselamatan.
Maka apabila engkau melihat seseorang yang nampak dengan kemaksiatan dan
telah Allah hindarkan dia dari musibah serta dituangkan kepadanya
berbagai kenikmatan maka ketahuilah bahwasanya Allah menginginkan
kejelekan kepadanya, karena Allah mengakhirkan balasan dari perbuatan
dosanya sampai dicukupkan balasannya pada hari kiamat.
Apabila Allah Mencintai Suatu Kaum
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ
الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ
رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
"Sesungguhnya
besarnya balasan tergantung besarnya ujian, dan sesungguhnya Allah
Ta'ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji mereka
(dengan suatu musibah), maka barangsiapa yang ridha maka baginya
keridhaan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah maka baginya kemarahan
(Allah)." (HR. At-Tirmidziy no.2396 dari Anas bin Malik, lihat Silsilah
Ash-Shahiihah no.146)
"Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian" yakni semakin
besar ujian, semakin besar pula balasannya. Maka cobaan yang ringan
balasannya pun ringan sedangkan cobaan yang besar/berat maka pahalanya
pun besar karena sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla mempunyai keutamaan
terhadap manusia. Apabila mereka ditimpa musibah yang berat maka
pahalanya pun besar dan apabila musibahnya ringan maka pahalanya pun
ringan.
"Dan sesungguhnya Allah Ta'ala apabila mencintai suatu kaum maka Allah
akan menguji mereka" ini merupakan kabar gembira bagi orang beriman,
apabila ditimpa suatu musibah maka janganlah dia menyangka bahwa Allah
membencinya bahkan bisa jadi musibah ini sebagai tanda kecintaan Allah
kepada seorang hamba. Allah uji hamba tersebut dengan musibah-musibah,
apabila dia ridha, bersabar dan mengharap pahala kepada Allah atas
musibah tersebut maka baginya keridhaan (dari Allah), dan sebaliknya
apabila dia marah maka baginya kemarahan (Allah).
Dalam hadits ini terdapat anjuran, pemberian semangat sekaligus perintah
agar manusia bersabar terhadap musibah-musibah yang menimpanya sehingga
ditulis/ditetapkan untuknya keridhaan dari Allah 'Azza wa Jalla.
Wallaahul Muwaffiq.
Diringkas dari kitab Al-Qaulul Mufiid 2/41-44 dan Syarh Riyaadhush Shaalihiin 1/125-126 dengan beberapa perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar