Orang-orang yang mengikuti perjalanan ruhani menuju Allah (Ahli Suluk atau
Ahli Thariqat) terbagi menjadi dua golongan.
Yang pertama, ialah golongan Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.
Ciri-cirinya :
1. Mereka mematuhi
ajaran al-Qur’an dan mematuhi amalan dan peraturan yang dicontohkan dari
perilaku dan kata-kata Nabi Muharnmad Saw.
2. Mereka
mengikuti panduan tersebut dalam perkataan, dalam bertindak, dalam pemikiran
dan dalam perasaan mereka.
3. Mereka
mengikuti maksud di dalam hati atau intisari yang tersirat dan yang terpendam
dalam ajaran Islam.
4. Mereka sangat
paham dan tidak mengikuti begitu saja ajaran-ajaran Islam.
5. Mereka mematuhi
ajaran Islam sepenuhnya, menghayati dan menikmati manisnya ajaran dan prinsip
agama.
6. Mereka
melakukan ibadah bukan karena paksaan, tetapi mereka merasa nikmat
melakukannya. Inilah jalan mistik (keruhanian) yang mereka patuhi.
7. Mereka adalah
kaum pencinta Allah yang sebenarnya.
Ada sebagian dari mereka yang dijanjikan dengan surga tanpa dihisab terlebih dahulu di hari Pengadilan. Ada sebagian merasakan sedikit azab di Hari Pembalasan, kemudian dimasukkan ke surga. Ada pula yang terpaksa merasakan azab neraka untuk sekian lama guna membersihkan dosa-dosa mereka sebelum dimasukkan ke surga. Tetapi tidak ada yang berada selama-lamanya dalam neraka itu. Yang kekal dalam neraka ialah orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Yang kedua, ialah kaum yang sesat atau kaum Sufi yang palsu yang terdiri
dari berbagai golongan. Mereka ini adalah kaum yang sesat di zaman ini.
Banyak golongan orang-orang yang sesat yang mengaku sufi
(palsu) antara lain:
1. Golongan Hululiyyah:
Ciri-cirinya :
1. Mereka
berpendapat adalah halal melihat badan orang yang bukan mahram, yang
menggiurkan nafsu, dan paras yang cantik yang bisa mendorong kepada zina, baik
lelaki atau perempuan, siapa pun baik anak atau isteri orang.
2. Mereka berbaur
antara lelaki dan perempuan dan menari bersama-sama. Hal ini jelas sekali
berlawanan dengan ajaran dan prinsip Islam.
2. Golongan Haliyyah:
Ciri-cirinya :
1. Mereka ini
gemar menyanyi, menari, memekik, menjerit dan menepuk tangan. Konon, dalam
keadaan demikian mereka dapat mengatasi dan melampaui hukum-hukum syari’at
Islam.
2. Tidak perlu
lagi bersyari’at karena telah melampaui peringkat syari’at. Hal ini jelas sesat
karena Nabi Muhammad Saw. sendiri pun mengikuti syari’at, walaupun ia kekasih
Allah Swt.
3. Golongan Auliaiyyah:
Ciri-cirinya :
1. Mereka ini
mendakwakan diri dekat dengan Allah. Dengan kata lain telah mencapai peringkat
Aulia Allah. Apabila telah jadi Waliullah tidak perlu lagi shalat, puasa, haji,
dan beribadah lainnya.
2. Mereka
berpendapat bahwa seseorang Wali menjadi anak Allah dan dengan itu mereka lebih
tinggi derajatnya dari Nabi. Mereka mengatakan bahwa ilmu atau wahyu sampai
kepada Nabi melalui malaikat Jibril, tetapi Waliyullah menerima ilham atau
hikmah langsung dari Allah. Itulah dakwaan mereka. Pendapat mereka ini adalah
silap atau salah dan sesat yang akan membawa mereka kepada kebinasaan dan akan
menjerumuskan mereka ke lembah bid’ah dan kafir.
4. Golongan Syamuraniyyah:
Ciri-cirinya :
1. Mereka percaya
kalam (perkataan) adalah kekal dan barangsiapa menyebut kalam yang kekal (kalam
Allah) itu tidak terikat dengan hukum atau syari’at agama.
2. Mereka tidak
peduli dengan hukum halal atau haram. Dalam upacara ibadah mereka menggunakan
alat musik. Perempuan dan lelaki berbaur menjadi satu. Tidak ada hijab lelaki
dengan perempuan. Ini sudah jelas sesat dan menyimpang jauh dari ajaran
al-Qur’an.
5. Golongan Hubbiyyah:
Ciri-cirinya :
1. Golongan ini
berkata bahwa apabila seseorang sampai ke peringkat cinta, mereka tidak lagi
berada di bawah hukum syari’at.
2. Mereka tidak
peduli dengan pakaian. Kadang-kadang mereka bertelanjang bugil. Tidak ada lagi
perasaan malu pada diri mereka.
Inilah ajaran sesat dan menyesatkan.
6. Golongan Huriyyah:
Ciri-cirinya :
1. Mereka senang
berteriak-teriak, memekik-mekik, menyanyi, dan bertepuk tangan, konon katanya
untuk mendapatkan Dzauq (ekstasi).
2. Mereka mendakwa
bahwa dalam keadaan Dzauq itu mereka bersenggama atau bersetubuh dengan
bidadari. Setelah mereka keluar dari keadaan Dzauq, mereka pun mandi hadas.
Mereka ini tertipu oleh nafsu mereka sendiri. Sesatlah mereka.
7. Golongan lbahiyyah:
Ciri-cirinya :
1. Mereka ini
tidak menyuruh berbuat baik dan tidak melarang berbuat jahat. Sebaliknya mereka
menghalalkan yang haram. Zina pun dihalalkan. Bagi mereka, semua wanita halal
untuk semua lelaki. Inilah golongan yang sesat dan miskin yang meminta sedekah
dari rumah ke rumah.
2. Mereka
beranggapan bahwa mereka menerima azab Allah yang hina.
8. Golongan Mutakasiliyyah:
Ciri-cirinya:
Mereka mengamalkan prinsip bermalas-malasan dalam mencari nafkah. Mereka
telah me- ninggalkan dunia dan keduniaan. Maka musnahlah mereka dalam kemalasan
mereka sendiri.
9. Golongan Mutajahiliyyah:
Mereka berpura-pura bodoh dan berpakaian tidak senonoh dan bersikap seperti
orang kafir.
Padahal Allah berfirman:
“Janganlah kamu cenderung meniru orang-orang yang zalim, kelak kamu akan di sentuh (dijilat) api neraka” (Hud: 113).
Padahal Allah berfirman:
“Janganlah kamu cenderung meniru orang-orang yang zalim, kelak kamu akan di sentuh (dijilat) api neraka” (Hud: 113).
Nabi pun pernah bersabda:
“Barangsiapa mencoba menyerupai sesuatu kaum, maka mereka dikira sebagai ahli kaum itu. “
10. Golongan Wafiqiyyah:
Ciri-cirinya:
Mereka berpendapat bahwa Allah yang mampu mengenal Allah. Dengan itu mereka
tidak mau berusaha mencari hakikat atau kebenaran. Karena kebodohan mereka itu,
mereka terseret ke jurang kerusakan dan kesesatan.
11. Golongan Ilhamiyyah:
Ciri-cirinya:
1. Mereka ini
mementingkan ilham. Tidak mau menuntut ilmu dan tidak mau belajar.
2. Mereka berkata
bahwa al-Qur’an adalah hijab bagi mereka.
3. Mereka
menggunakan puisi karangan mereka sebagai ganti al-Qur’an.
4. Mereka membuang
al-Qur’an dan meninggalkan ibadah shalat, dan lain-lain.
5. Mereka
mengajarkan anak-anak mereka berpuisi sebagai ganti al-Qur’an. Maka sesatlah mereka.
Demikian banyak ajaran-ajaran sesat dari guru Sufl palsu di zaman ini, kata
Syeikh Abdul Qadir al-jailani.
Sufi yang Benar dan Sufi Palsu
Sebenarnya golongan sesat dari kaum yang mengaku dirinya Sufi itu akan
terus ada di setiap masa, baik dari golongan kaum Muslimin yang melenceng dari
jalan yang benar maupun dari golongan kaum kafir juga.
Adapun kaum kafir, sejak semula mereka telah tersesat dalam belenggu
kekufuran. Meskipun mereka bertabiat seperti seorang Sufi, dan mereka menahan
diri dari segala macam tuntutan hawa nafsu untuk bertaqarrub, namun dasar
kepercayaan mereka sendiri itu telah salah dan melenceng dari jalan Allah yang
sebenarnya.
Mereka seperti yang sering kita lihat pada orang-orang yang berkeperecayaan
Hindu dan Buddha dan sebagainya. Sayang sekali jerih payah mereka dalam
mengendalikan diri dari hawa nafsu dunia itu ditujukan untuk kepercayaan yang
sesat, bukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Allah berfirman:
“Dan siapa yang memohon kepada tuhan yang selain Allah, dia tidak mempunyai alasan apa pun tentang kepercayaannya itu, maka sesungguhnya perhitungannya nanti di sisi Tuhannya jua, sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang tidak beriman itu” (Al-Mu’minun: 117).
“Dan siapa yang memohon kepada tuhan yang selain Allah, dia tidak mempunyai alasan apa pun tentang kepercayaannya itu, maka sesungguhnya perhitungannya nanti di sisi Tuhannya jua, sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang tidak beriman itu” (Al-Mu’minun: 117).
Sungguh menyedihkan keadaan mereka. Mereka telah bersusah payah menahan
segala kenikmatan di dunia, tetapi tidak mampu memetik hasil dari jerih
payahnya itu, karena apa yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka. Sementara
di akhirat mereka pun akan mendapat hukuman, siksa di dalam api neraka untuk
selama-lamanya karena tidak mengikuti petunjuk yang benar.
Bagaimana dengan orang-orang yang beriman, tetapi kemudian yang tersesat
jalan? Mungkin pada awalnya mereka melangkah di jalan yang benar atau berniat
baik untuk tujuan Sufi. Tetapi tidak mustahil, mereka bisa tertipu dalam
perjalanan kesufiannya itu, karena terpengaruh oleh hawa nafsu.
Nafsu yang akan ditentangnya ternyata berbalik muka menjadi gejala yang
menentangnya. Orang yang menentang hawa nafsu itu bertujuan menghadapkan
wajahnya kepada Tuhan yang dicari-Nya agar dikenali-Nya. Perlakuannya di dalam
kesufian itu bukanlah bertujuan untuk mencari pangkat atau memperoleh pujian
dan nama dalam masyarakat pengikutnya.
Apabila dilihatnya dirinya dihormati, para pengikutnya berkerumun
mengelilinginya, dan terharulah hatinya, ia sangat senang dengan keadaan ini.
Padahal, inilah penyakit, yang dalam istilah kesufian disebut Istidraj, yakni
perkara-perkara yang datang sebagai cobaan dan ujian kepada seorang Sufi.
Orang yang semacam ini, memang setan senang sekali berdampingan dengannya.
Dia malah lebih senang menyenderkan dirinya dengan Sufi palsu ini daripada
orang yang bodoh dari liku-liku urusan agamanya. Memang mudah orang yang
‘bodoh’ itu dapat dipengaruhi dan diperdayakan oleh setan, tetapi hasilnya
hanya seorang saja. Berbanding dengan Sufi palsu ini, dia mempunyai pengikut
yang banyak, kalau dapat diperdayakan setan satu orang Sufi, maka Sufi itu
dapat menghantar perdayaan itu kepada semua pengikutnya, kecuali orang yang
diselamatkan Allah.
Setan akan berbisik kepada si Sufi palsu itu: Engkau seorang besar!
Pengaruhmu sungguh mengagumkan! Sebab para pengikutmu banyak sekali, karena itu
engkau jangan bimbang! Mereka tidak akan menyia-nyiakanmu. Engkaulah orang Sufi
yang benar! Engkau wali, dan bukankah wali itu orang kesayangan Tuhan! Apa
pedulimu kepada orang-orang bodoh yang merendahkan derajatmu. Mereka itu tidak
mengerti. Masih jahil. Jahil murakkab. Engkau begini, dan begitu, dan
seterusnya. Bisikan itu tidak ada akhirnya. Diberikan kepadanya Khatir-khatir,
yakni lintasan-lintasan hati yang semuanya palsu dan keliru, sedang dia
termakan semua umpan yang dipasangkan di dalam perangkapnya.
Itulah dia Istidraj yang selalu menimpa orang yang mengangan-angankan diri
menjadi Sufi sebelum waktunya. llham yang diterimanya bukan ilham dari Allah
Swt., tetapi ilham dari setan, sedang dirinya tidak tahu.
Orang Sufi palsu ini sungguh berbahaya kepada umat Islam. Dia lebih
berbahaya daripada sang Sufi sesat, yang perjalanannya benar, tetapi
kepercayaannya salah dan sesat. Sebab orang Sufi sesat itu, semua orang Islam
telah mengenalinya dan mudah dikenali. Namun sang Sufi palsu itu akan membawa
kekeliruan kepada khalayak yang tidak mengerti, atau orang yang mudah
terpengaruh dengan hal-hal yang tidak asli atau tiruan. Lalu bukan saja dia
yang sesat, malah dia akan menyesatkan banyak orang yang tidak berdosa, hanya
salahnya karena terpengaruh dengan yang salah yang digambarkan sebagai benar,
wallahu-a’lam.
Pendapat Ahli Sunnah Wal-jama’ah
Para pemimpin dan guru-guru Sufi dari golongan Ahli Sunnah Wal-Jama’ah
berpendapat bahwa para sahabat, dengan berkat ajaran dan kehadiran Nabi, adalah
dalam keadaan Dzauq keruhanian yang tinggi martabatnya. Setelah zaman berlalu,
keadaan keruhanian yang tulen ini makin lama makin kurang dan tipis. Kemudian
keadaan keruhanian ini diwarisi oleh guru-guru mursyid yang kemudian, pecah
menjadi banyak firqah dan cabang.
Oleh karena terlalu banyak firqah dan golongan kaum mursyid itu, hikmah dan tenaganya pun makin tipis dan makin berpecah-belah. Dalam banyak hal, yang tinggal hanya bentuk zahir saja yang berlagak seperti guru Sufi, padahal batinnya dan hakikatnya bukan Sufi. Lama kelamaan timbullah Sufi-Sufi palsu dan bid’ah.
Oleh karena terlalu banyak firqah dan golongan kaum mursyid itu, hikmah dan tenaganya pun makin tipis dan makin berpecah-belah. Dalam banyak hal, yang tinggal hanya bentuk zahir saja yang berlagak seperti guru Sufi, padahal batinnya dan hakikatnya bukan Sufi. Lama kelamaan timbullah Sufi-Sufi palsu dan bid’ah.
Ada yang menganut golongan Haydari dan berpura-pura menjadi perwira dan
pahlawan. Ada pula yang menamakan diri mereka kaum Adhami dan berpura-pura
mengikuti jejak langkah Ibrahim Adham, yaitu seorang Sufi besar yang
meninggalkan istana dan pangkat sultan karena hendak mengamalkan ilmu Sufi.
Bahkan, masih banyak lagi ajaran sesat dari guru Sufi palsu yang timbul.
Dalam zaman ini, ahli-ahli Sufi yang sebenarnya, yang bersesuaian dengan
syari’at, makin lama makin berkurangan jumlah mereka.
Ahli Sufi yang hakiki dapat dikenali dengan dua
cara:
Pertama, zahir mereka, yaitu mereka mengamalkan syari’at.
Kedua, batin mereka, yaitu boleh dijadikan contoh teladan karena mereka
mewarisi keruhanian Nabi Saw. Sebenarnya contoh manusia yang paling baik ialah
Nabi Besar Muhammad Saw. Dialah sebenar-benar Sufi yang hakiki. Syari’at dan
Hakikat hendaklah bersama seiring jalan untuk kesinambungan agama dalam
kehidupan mukmin dan mukminah sejati.
Seorang Waliyullah yang mewarisi keruhanian Nabi akan memberi berkat kepada
Si Salik dengan kehadiran fisiknya. Sesungguhnya Iblis tidak dapat menyerupai
Nabi Saw.
Awas, wahai Salik, orang buta tidak boleh menunjukkan jalan pada si buta yang lain. Pandangan kita hendaklah tajam supaya kita dapat membedakan kebaikan dengan kejahatan, walau sebesar zarrah pun.
Awas, wahai Salik, orang buta tidak boleh menunjukkan jalan pada si buta yang lain. Pandangan kita hendaklah tajam supaya kita dapat membedakan kebaikan dengan kejahatan, walau sebesar zarrah pun.
Ingatlah, bahwa perjalanan Sufi itu bukan medan permainan. Bila suka boleh
ikut, bila malas boleh ditinggalkan. la adalah jalan menuju ke Hadhirat
Ketuhanan, yang kepadanya tidak semudah diucapkan lisan. walaupun begitu,
wajarlah ia menjadi tujuan setiap insan. Yang ingin mencari ketenangan diri dan
makrifat hakikat penciptaan Tuhan. Bukankah kita disuruh menyembah-Nya menurut
bunyi sebuah firman? Bagaimana boleh menyembah kalau belum sempat untuk
berkenalan?
Khatir yang Datang Kepada Sufi
Khatir itu ialah lintasan-lintasan hati, atau cetusan yang muncul di hati
orang Mukmin karena sesuatu sebab atau yang lain. la biasanya datang secara
tiba-tiba sehingga mengharukan orang yang didatanginya. Kalau ia telah terbiasa
dengan khatir- khatir seperti itu, maka perkaranya agak mudah sedikit, akan tetapi
khatir yang datang sekali-sekali harus diberikan perhatian yang cukup dan
dipertimbangkan dengan sehalus- halusnya agar dia tidak tertipu.
Apabila khatir itu muncul, dan hatinya kuat mengatakan, bahwa dia itu
datang dari Malaikat, yakni Khatir-Al-Malak, mestilah dia bertenang lebih
dahulu dan bertanya pada dirinya:
Siapa engkau ini, dan engkau datang dari mana? Mungkin tidak sukar ia akan mendengar suara hatinya menjawab: Aku ini sebagian Nubuwah, yakni pemberitahuan khusus yang datang dari Al-Haqq, yaitu Tuhan yang sebenarnya. Aku memang benar. Aku datang dari Habib (siapa yang dicintai) dan Ar-Rafiq (Rakan).
Siapa engkau ini, dan engkau datang dari mana? Mungkin tidak sukar ia akan mendengar suara hatinya menjawab: Aku ini sebagian Nubuwah, yakni pemberitahuan khusus yang datang dari Al-Haqq, yaitu Tuhan yang sebenarnya. Aku memang benar. Aku datang dari Habib (siapa yang dicintai) dan Ar-Rafiq (Rakan).
Khatir, atau bisikan hati ini akan memenuhi kebatinannya, pendengarannya
dan pemandangannya. Sikap orang yang didatangi Khatir ini gemar sekali mengasingkan
diri dari kumpulan orang ramai, tidak suka banyak berbicara, seperti orang
sakit lagaknya.
Mukanya terlalu masyghul karena tekanan Khatir yang datang menyelubungi
jiwanya itu.
Dalam keadaan yang serupa itu, orang yang tidak tahu akan mengatakan bahwa dia sedang ditimpa gangguan dalam dirinya, karena semua sifatnya berubah dan seolah-olah dia berada di tempat yang bukan tempat yang dia sedang berada itu. Tetapi sebentar lagi keadaannya akan berubah pula, dan dia kelihatan penuh perasaan tenteram dan tenang, dan sedikit demi sedikit keadaannya akan kembali pulih seperti sediakala seolah-olah tiada sesuatu yang menimpa dirinya.
Dalam keadaan yang serupa itu, orang yang tidak tahu akan mengatakan bahwa dia sedang ditimpa gangguan dalam dirinya, karena semua sifatnya berubah dan seolah-olah dia berada di tempat yang bukan tempat yang dia sedang berada itu. Tetapi sebentar lagi keadaannya akan berubah pula, dan dia kelihatan penuh perasaan tenteram dan tenang, dan sedikit demi sedikit keadaannya akan kembali pulih seperti sediakala seolah-olah tiada sesuatu yang menimpa dirinya.
Di dalam keadaan dia sedang diselubungi Khatir itu, dia kelihatan seperti
orang yang terkena putau, yang kesadarannya tidak penuh. Kadang-kadang dia akan
mengatakan sesuatu yang boleh didengar oleh orang yang berada di sisinya, dan
kadang-kadang tidak kedengaran apa yang dikatakannya itu, seolah-olah dia
sedang asyik berbicara sesuatu dengan seseorang yang berada di sisinya. Namun
siapa yang mengerti semua keadaan ini kecuali orang yang sudah mengalaminya,
dan orang yang mengalami hampir semuanya tidak mau menceritakannya, karena
semua itu adalah rahasia-rahasia ketuhanan yang halus yang tidak boleh
dibocorkan. Dan kalau diberitahukan pula, mungkin ramai orang yang tidak
percaya. Mungkin dikatakan orang, dia itu terasuki jin, wallahu-a’lam.
lkhlas dalam Beramal
Berkata Syeikh Abdul Qadir al-Jailani: Sekiranya kita ikhlas dalam amalan,
kita akan diceraikan dari kalangan makhluk, sehingga seolah-olahnya kita merasa
jemu untuk duduk-duduk bersama mereka. Hanya dengan menceraikan diri dari
makhluk, kita dapat ‘bersatu’ dengan Allah!
Memang benar sekali, pintu menuju kepada Allah itu ialah mengosongkan hati
sama sekali dari urusan dengan makhluk, barulah hati itu akan lapang dan dapat
dikuasai oleh hal-hal yang datang dari Tuhan tanpa terganggu. Sebab para
shalihin senang sekali memunajatkan dirinya kepada Allah di waktu malam, di
waktu semua orang terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Apabila kita mengasingkan diri dari manusia, dan bergiat membuat
amalan-amalan yang berupa taqarrub, maka ketika itu akan terbuka bagimu suatu
pintu khusus yang menyambung dengan Hadhirat Ketuhanan.
Hati kita akan bersinar cemerlang, membawa jiwa atau ruhmu mengintip
rahasia-rahasia yang halus yang akan mempengaruhi dirimu. Itulah yang dikatakan
makrifat, yang menurut istilah yang lahir, bila dicarinya tidak akan ditemukan.
Tetapi apabila hati itu dibersihkan dan disucikan dari segala kekotoran keduniaan,
makrifat malah datang mencarimu, dan akan didudukinya tempat di muka hati yang
sudah dibersihkan itu. Sehingga memancarlah sinar cahaya yang cemerlang tadi,
wallahu-a’lam.
Allah Swt. telah menjadikan hati itu tempat letaknya makrifat dan ilmu.
Ilmu itu cahaya, tidak ingin duduk di tempat yang ada kotoran. Makrifat itu
adalah cahaya yang cemerlang, tidak akan setempat dengan daki-daki kekotoran.
Allah Swt. menilik hati itu dalam sehari semalam sampai 360 kali, dan
sekiranya Dia tidak membiarkan ilmu dan makrifat itu berdiam di hati itu,
niscaya hati itu akan hancur berantakan. Tinggallah hati itu menjadi keras dan
mati. Tetapi bila hati itu kembali baik dan menghampirkan dirinya kepada Allah,
maka Allah akan menjadikan sungai kenikmatan mengalir dari muka hati itu.
Allah menjadikan Ahlullah itu sebagai pembela agama. Peringkat yang
tertinggi di antara para makhluk ialah para Nabi dan Rasul. Di bawah peringkat
itu ialah para sahabatnya, dan berikut sesudahnya ialah para tabi’in dan
seterusnya tabi’ tabi’in. Mereka ini semua senantiasa patuh dan mengamalkan apa
yang diperintah Tuhan. Mereka laksanakan suruhan Allah dan Rasul-Nya dengan
kata dan doa, sama ketika sendirian ataupun di khalayak ramai. Itulah
orang-orang yang mewarisi para Nabi.
Mereka ini sering disebut dan dibanggakan oleh Allah Swt. sebagai para
hamba-Nya yang shalihin, yang setiap gerak langkahnya diiringi dengan takwa dan
setia. Mereka telah membelakangi dunia dan semua urusan dunia, manakala orang
lain sibuk mengejarnya dan berusaha dengan penuh daya upaya untuk mencapainya.
Sebab itu dikatakan, bahwa orang yang mengejar dunia, dunia akan lari
meninggalkannya. Dan siapa meninggalkan dunia, dunia akan datang
mendapatkannya.
Namun begitu, bagi orang yang sudah mengenal hakikat dirinya, semua urusan
dunia itu akan menjadi tipis dalam pandangannya. Dunia pada hakikatnya tidaklah
bernilai, lantaran ia bukan dari jenis barang yang kekal. Sebab itu Allah telah
mengatakan, sekiranya dunia itu bernilai atau berharga hanya satu sayap nyamuk,
atau lalat, niscaya tidak akan diberikan-Nya kepada orang kafir. Lantaran dia
tidak berharga apa pun, maka diberikan kepada orang kafir itu untuk menjadi
pokok yang membinasakan. Maka apakah orang yang beriman itu, yang sudah kenal
arti dan harga iman itu masih mau menjual imannya dengan harta yang tidak
bernilai itu?
Itulah pokok kefahaman orang Sufi dibandingkan dengan orang biasa, maka di
manakah kita berada sekarang ini?!
wallohu a’lam bish-shawab, Wassalam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar