“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir
dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan
rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah
bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang
menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan
kamu telah fasik.” (QS Al-Ahqaaf [46] : 20)
Muhammad bin Sirrin rahimahullah mengatakan:
“Hati yang suci seharusnya tahu bahwa Allah itu haq, dan niscaya hari kiamat
akan datang tanpa sedikitpun keraguan dan Allah akan membangkitkan manusia dari
kuburnya.” Ungkapan ini mengingatkan kita akan makna yang dalam agar kita
selalu menjadikan hati itu tetap hidup dan dengan demikian sifat kesucian
(salamah) selalu melekat dalam diri kita. Insya Allah, bagi siapa saja yang
telah mengenal Allah dengan ma’rifat yang sejati, meyakini akan datangnya hari
kiamat, serta beramal untuk bekal setelah kematiannya, maka tidaklah mustahil
bahwa inilah hati yang suci.
Seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah,
tidak ada pilihan lain baginya kecuali berusaha menjaga qalbu (hati)nya tetap
suci dari berbagai cacat, cela dan kerakusan yang bisa menafikan sesuatu yang
dicintai oleh Allah. Sebab bila hati kita telah rusak, terkotori oleh syahwat
dan syubhat, kita akan kesulitan menemukan manfaat apapun yang layak dalam
masalah dunia.
Dan kita juga tidak akan bisa memperoleh
sedikitpun manfaat atau hasil di akhirat kelak.
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syu’araa’ [26] : 88-89) Ibnul Qayyim Al-Jauziah menasihati: “Bergaul dengan orang yang hatinya mati adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis (berkumpul) dengan mereka adalah bencana.”
Astaghfirullah. Telah begitu keraskah hati kita, seakan tak ada ruang kosong bagi cahaya kebenaran untuk bertahan di dalamnya?
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS Asy-Syu’araa’ [26] : 88-89) Ibnul Qayyim Al-Jauziah menasihati: “Bergaul dengan orang yang hatinya mati adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis (berkumpul) dengan mereka adalah bencana.”
Astaghfirullah. Telah begitu keraskah hati kita, seakan tak ada ruang kosong bagi cahaya kebenaran untuk bertahan di dalamnya?
Marilah kita jernihkan cahaya qalbu dalam diri
kita. Sebab jika qalbu kita telah bersinar berbagai amal kebaikan akan mudah
merasuk. Hidupkan hati kita dengan selalu berbuat kebaikan. Murnikan ibadah
kita dengan selalu menghadirkan keikhlasan dan luruskan jalan kita dengan
selalu menjaga keseimbangan.
Seorang shalih pernah berkata: “Barangsiapa yang
mengisi lahirnya dengan mengikuti sunnah, mengisi batinnya dengan selalu
ber-muraqabbah (berdekatan dengan Allah), menjaga pandangannya dari hal-hal
yang diharamkan, menjaga dirinya dari syubhat, dan hanya memakan makanan yang
halal, maka firasatnya tidak pernah keliru. Itulah buah dari kejernihan qalbu.
Namun jika qalbu telah terkotori, maka cahaya kebenaran akan terhambat masuk ke
dalam hati.
Tanda-tanda hati kita telah kotor adalah ketika
ia tidak lagi merasakan sakitnya bermaksiat, dan betapa menderitanya berada
dalam kebodohan, ketika ia tidak lagi mampu membedakan antara kebaikan dan
kejahatan. Kemungkaran dianggap kebaikan, sunnah dianggap bid’ah, dan bid’ah
dianggap sunnah, kebenaran dianggap kebatilan, dan kebatilan dianggap
kebenaran.
Imam Ahmad dalam musnadnya dari Hudzaifah bin
Al-Yaman ra, Rasulullah bersabda,”Hati itu ada empat macam:
- Hati yang lembut, di dalamnya terdapat penerangan yang memancarkan cahaya. Itu adalah hati seorang mukmin;
- Hati yang terkunci mati, yaitu hati orang kafir;
- Hati yang terbalik, ialah hati orang munafik; dan
- Hati yang terbelah dua bagian, bagian keimanan dan bagian kemunafikan. Hal ini dikarenakan keduanya saling mengalahkan hati.”
Penulis : Ustadz Anwar Anshori Mahdum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar