Sabtu, 31 Desember 2011

Waktu Adalah Usia Kita

>Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang berima dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr [103] : 1-3)

Imam Ja’far bin Muhammad as-Shadiq memberi nasihat: “Siapapun yang akhir dari dua hari yang dilewatinya buruk, maka ia adalah orang yang terkutuk! Siapapun yang tak melihat adanya pertambahan kebaikan dalam dirinya, maka ia adalah orang yang berkekurangan.

Dan siapapun yang dirinya berkekurangan, maka kematian lebih baik baginya daripada kehidupan.” Itulah sebuah nasihat yang harus kita hayati dengan dalam, terlebih ketika hari-hari yang kita lewati tak jua menambah kesadaran untuk merubah diri. Waktu demi waktu terus bergulir, tetapi rentetan perjalanan hidup yang kita jalani hingga hari ini selalu menorehkan keburukan. Alangkah tak pantasnya kita mengaku beriman, tetapi ketika melakukan kemaksiatan terasa begitu aman. Sungguh, terkadang kita memang sering tak tahu berterima kasih. Dr. Yusuf Qardhawi pernah menulis dalam sebuah risalahnya bahwa waktu terus berlalu dan tak pernah kembali. Waktu adalah harta manusia yang paling berharga. Waktu adalah kehidupan bagi seorang muslim.

Belajarlah dari perjalanan hari-hari, dari pergantian siang dan malam. Sebab di dalam keduanya ada sesuatu yang baru, dan keduanya dapat mendekatkan sesuatu yang jauh. Dan ketahuilah, seungguhnya pada masingmasing waktu yang terlewati ada kewajiban yang harus kita laksanakan untuk Allah. Sahabat, bingkai kehidupan yang kita jalani selalu pasang surut, beralih pada sebuah keadaan ke keadaan lain. Ada kenikmatan yang pernah kita rasakan, ada kesengsaraan yang pernah kita dapatkan, ada ketaatan yang datang menjelang, dan ada kemaksiatan yang terkadang kita lakukan.

Pada empat keadaan inilah ada kewajiban hamba untuk Allah. Pertama, bagi kita yang mendapatkan kenikmatan, kewajiban kita harus bersyukur kepada-Nya. Kedua, bagi yang berada dalam kesengsaraan, berkewajiban untuk bersabar dan ridha terhadap ketetapan-Nya. Ketiga, bagi yang sedang berada dalam ketaatan, berharaplah selalu kepada-Nya agar kebajikan, hidayah dan taufiq selalu tertanam dalam jiwa. Keempat, bagi yang berada dalam kemaksiatan, berkewajiban selalu memohon ampunan, bertobat atas kesalahan agar tersucikan segala kotoran, agar termaafkan segala kemaksiatan.

Sungguh, waktu adalah peluang untuk meraih kesempatan dalam menggapai cita-cita. Sekali kita tinggalkan waktu, saat itu juga kita tidak dapat mengejarnya lagi walaupun sedetik. Hilang kesempatan timbul kekecewaan, karena di dalam waktulah kita mendapat kebahagiaan dan kesengsaraan. Ketahuilah, perjalanan hidup manusia melaju dengan cepat menuju Allah SWT. Hendaklah kita selalu mengadakan perhitungan untung-rugi dari apa yang telah kita kerjakan. Sebab setiap gerak dari kehidupan kita tak satupun yang luput dari penglihatan Allah. Karena memang Dia-lah yang memberi kekuatan gerak dalam hidup kita. Betapa seringnya kita tertipu. Kita mengira bahwa kita diam, sedangkan waktu terus berjalan.

Sebagai perumpamaan dalam hidup, mungkin kita pernah naik kereta api yang sedang berjalan, nampak dari dalam jendela seakan kita melihat lingkungan di luar kereta berlari, padahal sesungguhnya kitalah yang bergerak cepat. Sahabat, di antara sekian banyak kenikmatan yang kita rasakan adalah nikmat umur. Betapa berharganya umur sehingga tidak dapat kita nilai dengan uang yang bertumpuk atau dengan emas yang berbungkal-bungkal.

Rasulullah mengingatkan kita tentang betapa pentingnya memahami persoalan ini. Beliau bersabda,”Belum lagi hilang jejak kaki seorang hamba pada hari kiamat, sehingga kepadanya telah diajukan empat pertanyaan, yaitu: tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang tubuhnya untuk apa dipakainya, tentang ilmunya apa yang sudah diamalkan dengannya, dan tentang hartanya dari mana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya.” (HR Bukhari)

Sadarilah, pada waktu itu ketika sampai pertanyaan tentang usia yang kita habiskan, kita tak dapat berdusta sedikitpun karena seluruh tubuh kita menjadi saksi dari apa yang kita kerjakan. Barulah timbul penyesalan yang saat itu tidak berguna sebanyak apapun penyesalan kita bahkan tangis dan ratap kita tak dapat menolong sedikitpun. Umur kita akan melaporkan kepada Allah dengan tidak dikurangi dan ditambah sedikitpun.

Sesungguhnya semakin bertambah umur kita setahun, semakin dekat kita kepada ajal. Semakin dekat kita kepada ajal, semakin dekat pula kita ke liang kubur. Karenanya, sebelum umur kita bercerai dari badan, jangan terlambat untuk bertobat menyesali kealpaan diri. Jangan terpedaya oleh pesona keindahan dunia, jangan tergiur oleh pengaruh pangkat dan jabatan.


Temukan Jalan Kita!
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orangorang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS Al-Fatihah [1] : 6-7)

Sering dalam shalat kita ada sebuah ungkapan kerap terlontar. Sebait doa yang diabadikan Allah dalam surat Al-Fatihah: “ihdinash-shiroothol-mustaqiim”, tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. Jika saja kita mau merenungkan kalimat ini, kita akan dapatkan betapa diri kita memang penuh dengan kelemahan.

Karena kelemahan itulah, kita selalu berharap agar Allah selalu meluruskan jalan kita. Kita memerlukan hidayah (petunjuk) pada setiap kesempatan, baik malam maupun siang. Sebab hati kita berada di antara dua jari di antara ‘jari-jari’ Allah, dan Ia membolakbalikkannya sebagaimana yang Ia Kehendaki. Dan setiap manusia tidak mengetahui tentang dirinya, apakah akan tetap sebagai seorang muslim atau tidak. Karena itulah kita selalu memohon petunjuk. Begitulah Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya.

Sesungguhnya, kalaulah kita mau mentadabburi banyak hal tentang kehidupan ini. Akan kita dapatkan betapa Allah telah menyediakan beragam fasilitas untuk memudahkan jalan hidup menuju kebenaran. Jalan itu telah dibentangkan oleh Allah. Jalan itu adalah Islam, kitabullah, teladan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Itulah makna dari kalimat yang selalu kita baca “ihdinash-shiroothol-mustaqiim”
Persoalannya adalah entah sudah berapa kali ini berulang, tetapi kita tak jua menemukan jalan. Mengapa? Karena kita hanya pintar mengungkap pinta, tetapi tidak mampu menangkap makna. Karena kita hanya pintar berkata, tetapi tidak pernah mencoba mengamalkan dalam fakta. Karena kita hanya berdusta dalam meraih seikat cinta.

Sahabat, telah terbentang hamparan kekuasaan yang diperlihatkan Allah kepada kita. Tidak terhitung jumlah nikmat yang tersalurkan lewat kehidupan kita, namun semua itu bukan menghadirkan kesadaran tetapi justru melahirkan keangkuhan. Sadarilah, baik dan buruk tindakan kita, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kenalilah diri kita, dari mana, untuk apa dan mau ke mana kita hidup? Pemahaman seperti ini akan memudahkan kita untuk menemukan jalan yang lurus, jalan yang dikehendaki Allah. Kita tidak akan tertipu oleh jalan setan yang selalu membisikkan kedalam hati kita. Dan yang lebih penting lagi adalah kesadaran ini akan menjadi benteng keimanan yang kuat, sehingga kita mampu mengendalikan nafsu ke arah yang baik.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah memberi nasihat: nafsu itu tak ubahnya seperti kuda tunggangan yang akan membawa orang yang mengendalikannya ke surga atau neraka. Bila nafsu manusia diarahkan untuk mengikuti kenikmatan syahwat yang semu serta mengarungi lautan keinginan yang diharamkan Allah, niscaya nafsu akan membawanya ke jurang neraka. Tetapi jika dijaga dan dikendalikan dengan kesabaran, maka nafsu akan membawa penunggangnya ke surga. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang mampu mengendalikan nafsu, bukan yang dikendalikan nafsu. Insya Allah.
Allahumma, Ya Allah, adalah taufiq-Mu jua yang dapat mengantarkan kami menuju ampunan-Mu. Sinarilah langkah kami dengan kebenaran firman-Mu, teguhkan jiwa kami untuk selalu meneladani sunnah Rasul-Mu. Jadikanlah dunia ini sebagai tempat segala kebaikan, bukan tempat untuk menambah keburukan. Engkau-lah Maha Pemberi Ampunan.
Ya Allah, tunjukilah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran, dan berikanlah kepada kami kekuatan untuk dapat mengikutinya. Dan tunjukilah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, dan berilah kekuatan kepada kami untuk dapat menjauhinya.


Menyadari Kekhilafan Diri
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59] : 18)

Sahabat, ketika cahaya kesadaran datang menghampiri, terasa begitu dalam sesal yang menggumpal di dalam hati. Teringat akan lembaran masa lalu yang kelam tentang orang-orang yang pernah kita sakiti, tentang perilaku diri yang begitu sering melakukan kekhilafan, tentang bakti kita kepada kedua orang tua yang mungkin belum kita sempurnakan, tentang cela dan aib diri yang mungkin belum sempat kita mohonkan ampunan. Dan tentang seluruh perjalanan hidup yang hanya diselimuti oleh dusta dan kebencian. Telah begitu panjang perjalanan yang kita lalui, tanpa kita sadari, telah begitu banyak kita menorehkan tinta hitam dalam sejarah kehidupan kita.

Sungguh, kalaulah kita mau jujur terhadap diri ini, betapa sedikit ketaatan kita kepada-Nya dan begitu sering kita khianati segala kenikmatan yang diberikan-Nya. Tampaknya, kita harus bertanya kepada diri ini, mengapa hati begitu keras membatu, hingga kebenaran tak jua menyatu. Mengapa diri ini begitu bodoh dan tak jua menyadari, padahal begitu nampak di depan kita hamparan ke-Maha Besar-an Allah yang tak tertandingi oleh apapun. Rasanya tak pantas diri ini selalu mengharap kebaikan, dimana saat yang lain begitu sering kita tampakkan kejelekan. Rasanya tak pantas kita mengharapkan ampunan, sementara pada saat yang sama kita melakukan kemaksiatan. Rasanya tak pantas kita menjadi hamba pilihan, karena segala perintah dan larangan tak jua tergerak untuk kita laksanakan.

Ketahuilah, setiap tapak kaki kita yang tertinggal sesungguhnya adalah saksi dari perjalanan hari-hari. Hanya orang yang bodoh yang membiarkan hari-harinya tersia-siakan dengan kebathilan, hanya orang yang jahil yang membiarkan waktu hidupnya tercampakkan dengan kelengahan dan merugilah keduanya karena kesempatan yang diberikan Allah tak dimanfaatkan untuk kebaikan.

Kita sering mengira bahwa kita telah banyak melakukan kebaikan. Selama ini kita menduga seakan telah sempurna melakukan ketaatan, merasa sudah begitu banyak menjalankan kewajiban. Tetapi ternyata semua itu hanyalah fatamorgana. Nampak begitu baik dalam persangkaan, ternyata begitu buruk dalam pandangan Allah. Mengapa demikian? Karena ketaatan yang kita kerjakan hanyalah sebatas menginginkan pujian dan kebaikan yang kita tunjukkan tidak diiringi dengan keikhlasan.

Renungkan nasihat Umar bin Khathab, ”Hisablah diri kalian sebelum dihisab! Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung (hari kiamat)! Di hari itu kalian dihadapkan kepada pemeriksaan. Tiada yang tersembunyi dari amal perbuatan kita barang satupun.”

Sahabat, marilah kita bangun sesuatu yang telah kita rubuhkan, bersihkan aqidah kita yang telah tercemar dengan kemusyrikan. Jernihkan niat dan tekad yang telah kita keruhkan dengan ketidakikhlasan. Manfaatkan kesempatan hidup ini selagi masih terbuka pintu harapan. Bukalah gerbang kesadaran agar tersibak pintu rahmat dan ampunan.

Berbuat baiklah selagi masih punya kesempatan dan bertobatlah kepada Allah sebelum ajal datang menjelang. Tegurlah hati kita yang sedang terlena, agar tidak jatuh terjerat oleh rayuan dunia yang fana. Tegurlah jiwa kita yang gelisah dan goyah agar tetap menjadi hamba yang mulia. Sadarilah, terkadang jiwa kita selalu cenderung pada kelezatan yang sesaat, maka didiklah ia dengan baik agar selalu taat. Temukan jalan kita di antara sekian banyak jalan yang telah membelokkan tujuan hidup kita. Mohonlah selalu hanya kepada Allah agar ditetapkan iman dan Islam kita, sebab itulah jalan yang akan membawa keselamatan dunia dan akhirat. Temukan jalan kita dengan berusaha memahami siapa, dari mana dan mau ke mana kita hidup? Ajukan pertanyaan ini kepada batin kita dengan khusuk, insya Allah kita akan menemukan jawaban itu dengan kejernihan pikiran.

Maha Suci Allah yang memahami segala aib yang tersembunyi, Yang Maha Penerima tobat orang-orang yang tersesat. Tiada pujian yang pantas kita berikan membandingi pujian kepada-Nya. Semoga Allah menghujamkan kesadaran di hati kita untuk menyadari kekeliruan, mengampuni setiap kemaksiatan. Bersyukur kepada-Nya yang telah menciptakan kita dengan kemuliaan dan kesempurnaan. Semoga Allah SWT membimbing kita pada jalan yang diridhai-Nya, menjauhkan dari jalan yang dimurkai-Nya.
Penulis : Ustadz Anwar Anshori Mahdum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar