>Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang berima dan mengerjakan amal
shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati
supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr [103] : 1-3)
Imam Ja’far bin Muhammad as-Shadiq memberi
nasihat: “Siapapun yang akhir dari dua hari yang dilewatinya buruk, maka ia
adalah orang yang terkutuk! Siapapun yang tak melihat adanya pertambahan
kebaikan dalam dirinya, maka ia adalah orang yang berkekurangan.
Dan siapapun yang dirinya berkekurangan, maka
kematian lebih baik baginya daripada kehidupan.” Itulah sebuah nasihat yang
harus kita hayati dengan dalam, terlebih ketika hari-hari yang kita lewati tak
jua menambah kesadaran untuk merubah diri. Waktu demi waktu terus bergulir,
tetapi rentetan perjalanan hidup yang kita jalani hingga hari ini selalu
menorehkan keburukan. Alangkah tak pantasnya kita mengaku beriman, tetapi
ketika melakukan kemaksiatan terasa begitu aman. Sungguh, terkadang kita memang
sering tak tahu berterima kasih. Dr. Yusuf Qardhawi pernah menulis dalam sebuah
risalahnya bahwa waktu terus berlalu dan tak pernah kembali. Waktu adalah harta
manusia yang paling berharga. Waktu adalah kehidupan bagi seorang muslim.
Belajarlah dari perjalanan hari-hari, dari
pergantian siang dan malam. Sebab di dalam keduanya ada sesuatu yang baru, dan
keduanya dapat mendekatkan sesuatu yang jauh. Dan ketahuilah, seungguhnya pada
masingmasing waktu yang terlewati ada kewajiban yang harus kita laksanakan
untuk Allah. Sahabat, bingkai kehidupan yang kita jalani selalu pasang surut,
beralih pada sebuah keadaan ke keadaan lain. Ada kenikmatan yang pernah kita
rasakan, ada kesengsaraan yang pernah kita dapatkan, ada ketaatan yang datang
menjelang, dan ada kemaksiatan yang terkadang kita lakukan.
Pada empat keadaan inilah ada kewajiban hamba untuk Allah. Pertama, bagi kita yang mendapatkan kenikmatan, kewajiban kita harus bersyukur kepada-Nya. Kedua, bagi yang berada dalam kesengsaraan, berkewajiban untuk bersabar dan ridha terhadap ketetapan-Nya. Ketiga, bagi yang sedang berada dalam ketaatan, berharaplah selalu kepada-Nya agar kebajikan, hidayah dan taufiq selalu tertanam dalam jiwa. Keempat, bagi yang berada dalam kemaksiatan, berkewajiban selalu memohon ampunan, bertobat atas kesalahan agar tersucikan segala kotoran, agar termaafkan segala kemaksiatan.
Sungguh, waktu adalah peluang untuk meraih
kesempatan dalam menggapai cita-cita. Sekali kita tinggalkan waktu, saat itu
juga kita tidak dapat mengejarnya lagi walaupun sedetik. Hilang kesempatan
timbul kekecewaan, karena di dalam waktulah kita mendapat kebahagiaan dan
kesengsaraan. Ketahuilah, perjalanan hidup manusia melaju dengan cepat menuju
Allah SWT. Hendaklah kita selalu mengadakan perhitungan untung-rugi dari apa
yang telah kita kerjakan. Sebab setiap gerak dari kehidupan kita tak satupun
yang luput dari penglihatan Allah. Karena memang Dia-lah yang memberi kekuatan
gerak dalam hidup kita. Betapa seringnya kita tertipu. Kita mengira bahwa kita
diam, sedangkan waktu terus berjalan.
Sebagai perumpamaan dalam hidup, mungkin kita
pernah naik kereta api yang sedang berjalan, nampak dari dalam jendela seakan
kita melihat lingkungan di luar kereta berlari, padahal sesungguhnya kitalah
yang bergerak cepat. Sahabat, di antara sekian banyak kenikmatan yang kita
rasakan adalah nikmat umur. Betapa berharganya umur sehingga tidak dapat kita
nilai dengan uang yang bertumpuk atau dengan emas yang berbungkal-bungkal.
Rasulullah mengingatkan kita tentang betapa
pentingnya memahami persoalan ini. Beliau bersabda,”Belum lagi hilang jejak
kaki seorang hamba pada hari kiamat, sehingga kepadanya telah diajukan empat
pertanyaan, yaitu: tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang tubuhnya untuk
apa dipakainya, tentang ilmunya apa yang sudah diamalkan dengannya, dan tentang
hartanya dari mana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya.” (HR Bukhari)
Sadarilah, pada waktu itu ketika sampai pertanyaan tentang usia yang kita habiskan, kita tak dapat berdusta sedikitpun karena seluruh tubuh kita menjadi saksi dari apa yang kita kerjakan. Barulah timbul penyesalan yang saat itu tidak berguna sebanyak apapun penyesalan kita bahkan tangis dan ratap kita tak dapat menolong sedikitpun. Umur kita akan melaporkan kepada Allah dengan tidak dikurangi dan ditambah sedikitpun.
Sesungguhnya semakin bertambah umur kita
setahun, semakin dekat kita kepada ajal. Semakin dekat kita kepada ajal,
semakin dekat pula kita ke liang kubur. Karenanya, sebelum umur kita bercerai
dari badan, jangan terlambat untuk bertobat menyesali kealpaan diri. Jangan
terpedaya oleh pesona keindahan dunia, jangan tergiur oleh pengaruh pangkat dan
jabatan.
Temukan Jalan Kita!
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orangorang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS Al-Fatihah
[1] : 6-7)
Sering dalam shalat kita ada sebuah ungkapan
kerap terlontar. Sebait doa yang diabadikan Allah dalam surat Al-Fatihah:
“ihdinash-shiroothol-mustaqiim”, tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. Jika saja kita
mau merenungkan kalimat ini, kita akan dapatkan betapa diri kita memang penuh
dengan kelemahan.
Karena kelemahan itulah, kita selalu berharap
agar Allah selalu meluruskan jalan kita. Kita memerlukan hidayah (petunjuk)
pada setiap kesempatan, baik malam maupun siang. Sebab hati kita berada di
antara dua jari di antara ‘jari-jari’ Allah, dan Ia membolakbalikkannya
sebagaimana yang Ia Kehendaki. Dan setiap manusia tidak mengetahui tentang
dirinya, apakah akan tetap sebagai seorang muslim atau tidak. Karena itulah
kita selalu memohon petunjuk. Begitulah Ibnu Katsir menjelaskan dalam
tafsirnya.
Sesungguhnya, kalaulah kita mau mentadabburi
banyak hal tentang kehidupan ini. Akan kita dapatkan betapa Allah telah
menyediakan beragam fasilitas untuk memudahkan jalan hidup menuju kebenaran.
Jalan itu telah dibentangkan oleh Allah. Jalan itu adalah Islam, kitabullah,
teladan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Itulah makna dari kalimat yang
selalu kita baca “ihdinash-shiroothol-mustaqiim”
Persoalannya adalah entah sudah berapa kali ini
berulang, tetapi kita tak jua menemukan jalan. Mengapa? Karena kita hanya
pintar mengungkap pinta, tetapi tidak mampu menangkap makna. Karena kita hanya
pintar berkata, tetapi tidak pernah mencoba mengamalkan dalam fakta. Karena kita
hanya berdusta dalam meraih seikat cinta.
Sahabat, telah terbentang hamparan kekuasaan
yang diperlihatkan Allah kepada kita. Tidak terhitung jumlah nikmat yang
tersalurkan lewat kehidupan kita, namun semua itu bukan menghadirkan kesadaran
tetapi justru melahirkan keangkuhan. Sadarilah, baik dan buruk tindakan kita,
kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kenalilah diri kita, dari
mana, untuk apa dan mau ke mana kita hidup? Pemahaman seperti ini akan
memudahkan kita untuk menemukan jalan yang lurus, jalan yang dikehendaki Allah.
Kita tidak akan tertipu oleh jalan setan yang selalu membisikkan kedalam hati
kita. Dan yang lebih penting lagi adalah kesadaran ini akan menjadi benteng
keimanan yang kuat, sehingga kita mampu mengendalikan nafsu ke arah yang baik.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah memberi nasihat: nafsu
itu tak ubahnya seperti kuda tunggangan yang akan membawa orang yang
mengendalikannya ke surga atau neraka. Bila nafsu manusia diarahkan untuk
mengikuti kenikmatan syahwat yang semu serta mengarungi lautan keinginan yang
diharamkan Allah, niscaya nafsu akan membawanya ke jurang neraka. Tetapi jika
dijaga dan dikendalikan dengan kesabaran, maka nafsu akan membawa penunggangnya
ke surga. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang mampu mengendalikan nafsu,
bukan yang dikendalikan nafsu. Insya Allah.
Allahumma, Ya Allah, adalah taufiq-Mu jua yang
dapat mengantarkan kami menuju ampunan-Mu. Sinarilah langkah kami dengan
kebenaran firman-Mu, teguhkan jiwa kami untuk selalu meneladani sunnah
Rasul-Mu. Jadikanlah dunia ini sebagai tempat segala kebaikan, bukan tempat
untuk menambah keburukan. Engkau-lah Maha Pemberi Ampunan.
Ya Allah, tunjukilah kepada kami kebenaran
sebagai kebenaran, dan berikanlah kepada kami kekuatan untuk dapat
mengikutinya. Dan tunjukilah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan, dan
berilah kekuatan kepada kami untuk dapat menjauhinya.
Menyadari Kekhilafan Diri
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr [59] :
18)
Sahabat, ketika cahaya kesadaran datang
menghampiri, terasa begitu dalam sesal yang menggumpal di dalam hati. Teringat
akan lembaran masa lalu yang kelam tentang orang-orang yang pernah kita sakiti,
tentang perilaku diri yang begitu sering melakukan kekhilafan, tentang bakti
kita kepada kedua orang tua yang mungkin belum kita sempurnakan, tentang cela
dan aib diri yang mungkin belum sempat kita mohonkan ampunan. Dan tentang
seluruh perjalanan hidup yang hanya diselimuti oleh dusta dan kebencian. Telah
begitu panjang perjalanan yang kita lalui, tanpa kita sadari, telah begitu
banyak kita menorehkan tinta hitam dalam sejarah kehidupan kita.
Sungguh, kalaulah kita mau jujur terhadap diri
ini, betapa sedikit ketaatan kita kepada-Nya dan begitu sering kita khianati
segala kenikmatan yang diberikan-Nya. Tampaknya, kita harus bertanya kepada
diri ini, mengapa hati begitu keras membatu, hingga kebenaran tak jua menyatu.
Mengapa diri ini begitu bodoh dan tak jua menyadari, padahal begitu nampak di
depan kita hamparan ke-Maha Besar-an Allah yang tak tertandingi oleh apapun.
Rasanya tak pantas diri ini selalu mengharap kebaikan, dimana saat yang lain
begitu sering kita tampakkan kejelekan. Rasanya tak pantas kita mengharapkan
ampunan, sementara pada saat yang sama kita melakukan kemaksiatan. Rasanya tak
pantas kita menjadi hamba pilihan, karena segala perintah dan larangan tak jua
tergerak untuk kita laksanakan.
Ketahuilah, setiap tapak kaki kita yang
tertinggal sesungguhnya adalah saksi dari perjalanan hari-hari. Hanya orang
yang bodoh yang membiarkan hari-harinya tersia-siakan dengan kebathilan, hanya
orang yang jahil yang membiarkan waktu hidupnya tercampakkan dengan kelengahan
dan merugilah keduanya karena kesempatan yang diberikan Allah tak dimanfaatkan
untuk kebaikan.
Kita sering mengira bahwa kita telah banyak
melakukan kebaikan. Selama ini kita menduga seakan telah sempurna melakukan
ketaatan, merasa sudah begitu banyak menjalankan kewajiban. Tetapi ternyata
semua itu hanyalah fatamorgana. Nampak begitu baik dalam persangkaan, ternyata
begitu buruk dalam pandangan Allah. Mengapa demikian? Karena ketaatan yang kita
kerjakan hanyalah sebatas menginginkan pujian dan kebaikan yang kita tunjukkan
tidak diiringi dengan keikhlasan.
Renungkan nasihat Umar bin Khathab, ”Hisablah
diri kalian sebelum dihisab! Timbanglah diri kalian sebelum ditimbang, dan
bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung (hari kiamat)! Di hari itu kalian
dihadapkan kepada pemeriksaan. Tiada yang tersembunyi dari amal perbuatan kita
barang satupun.”
Sahabat, marilah kita bangun sesuatu yang telah
kita rubuhkan, bersihkan aqidah kita yang telah tercemar dengan kemusyrikan.
Jernihkan niat dan tekad yang telah kita keruhkan dengan ketidakikhlasan.
Manfaatkan kesempatan hidup ini selagi masih terbuka pintu harapan. Bukalah
gerbang kesadaran agar tersibak pintu rahmat dan ampunan.
Berbuat baiklah selagi masih punya kesempatan
dan bertobatlah kepada Allah sebelum ajal datang menjelang. Tegurlah hati kita
yang sedang terlena, agar tidak jatuh terjerat oleh rayuan dunia yang fana.
Tegurlah jiwa kita yang gelisah dan goyah agar tetap menjadi hamba yang mulia.
Sadarilah, terkadang jiwa kita selalu cenderung pada kelezatan yang sesaat,
maka didiklah ia dengan baik agar selalu taat. Temukan jalan kita di antara
sekian banyak jalan yang telah membelokkan tujuan hidup kita. Mohonlah selalu
hanya kepada Allah agar ditetapkan iman dan Islam kita, sebab itulah jalan yang
akan membawa keselamatan dunia dan akhirat. Temukan jalan kita dengan berusaha
memahami siapa, dari mana dan mau ke mana kita hidup? Ajukan pertanyaan ini
kepada batin kita dengan khusuk, insya Allah kita akan menemukan jawaban itu
dengan kejernihan pikiran.
Maha Suci Allah yang memahami segala aib yang
tersembunyi, Yang Maha Penerima tobat orang-orang yang tersesat. Tiada pujian
yang pantas kita berikan membandingi pujian kepada-Nya. Semoga Allah
menghujamkan kesadaran di hati kita untuk menyadari kekeliruan, mengampuni
setiap kemaksiatan. Bersyukur kepada-Nya yang telah menciptakan kita dengan
kemuliaan dan kesempurnaan. Semoga Allah SWT membimbing kita pada jalan yang
diridhai-Nya, menjauhkan dari jalan yang dimurkai-Nya.
Penulis : Ustadz Anwar Anshori Mahdum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar