Senin, 23 Januari 2012

Antara Zagreb dan Sarajevo

Saya suka sekali membaca tulisan ini, yang ditulis oleh Farid Gaban, moderator milis jurnalisme@yahoogroups.com. Beliau juga mantan wartawan senior TEMPO tempat saya pernah bekerja selam a6 tahun sebagai koresponden Aceh.
Membaca tulisna ini saya jadi membayangkan wajah wajah perempuan Aceh, meski inti tulisan Farid Gaban ini tidak seluruhnya ingin membahas tentang penghargaan dan posisi perempuan dalam pandangan Islam.

Hanya karena bicara islam di Indonesia, Aceh adalah main gate-nya. Dan bicara Islam di Aceh, perempuan adalah satu tokoh yang mensyiarkannya. Tapi bagaimana perempuan di Aceh saat ini? Inilah yang perlu banyak sekali penelitian kita semua.

Saat Aceh maish didera konflik bersenjata, ketika kekuatan GAM begitu terasa dari kota hingga ke desa desa, tak sedikit perempuan yang dipotong rambutnya, karena tak mengenakan jilbab. Ya harus pakai jilbab, walau lengannya atau betisnya boleh sedikit terlihat. Tapi rambut tidak. Entah apa dasar hukumnya. Pihak yang mengeluarkan aturan, tidak memotong lengan perempuan yang mengenakan jilbab tapi separuh lengannya terlihat. Padahal ini adalah aurat.

Dan sekarang, setelah setahun damai, di daerah daerah yang menjadi tempat pemberlakuan aturan yang tidak jelas itu, makin banyak perempuan yang tidak menutup lagi kepalanya. Lebih lagi yang terlihat lengan dan betisnya. Di perkotaan, masih banyak juga yang yang berjilbab dan menutup seluruh tubuhnya, lengan, perut dan betis. Tapi kita bis aliat bentuk indahnya, karena pakaian yang merek agunakan sangat ketat.

Begitulah bila kedasaran tidak datang dari hatinya. Yang dilakukan hanyalah sebuah keterpaksaan oleh sebuah kekuatan di sekitarnya.

Perempuan kembali dijadikan objek oleh orang orang kuat...
Entah ini juga terjadi di Zagreb dan Sarajevo, karena kedua tempat ini pernah berada dalam kondisi serupa seperti Aceh.

Pengalaman empiris dalam masyarakat perlu lebih banyak dibahas ketimbang kita hanya membenturkan dogma, pro-Syariah atau pro-demokrasi/ HAM.

KETIKA ke Bosnia-Herzegovina untuk kedua kali pada 1994, saya bertemu seorang pengusaha dari Swedia. Kami cepat menjadi akrab karena bersama menyewa mobil dan bergantian menyetir untuk perjalanan darat dari Zagreb ke Sarajevo--di tengah musim salju yang menyengat, dan kemacetan panjang kendaraan pengungsi yang ingin pulang setelah perang mereda.

Salah satu yang paling saya ingat dari dia adalah perdebatan kami soal perempuan dalam Islam. Perdebatan itu saya ingat betul karena mengandung paradoks dan ironi.

Dia mengaku seorang "non-practising Mormon". Hampir sepanjang perjalanan itu dia bercerita bangga tentang banyak perempuan yang menjadi obyek petualangan seksnya, yang membuat saya iri....
 
Namun, dia menolak poligami dan mengecam penindasan perempuan dalam Islam.
Dia agak terkejut ketika menanyakan agama saya dan saya jawab "Islam". Mungkin dia mengira hanya orang Arab yang beragama Islam. "Lebih banyak Muslim di Indonesia ketimbang di Arab Saudi," kata saya.

"Apakah istri Anda memakai veil (jilbab) seperti perempuan di Bosnia sini?" tanya dia.

Jilbab sebenarnya bukan fenomena baru di Balkan dan tidak khas Islam. Terutama di kalangan generasi tua, kerudung dipakai secara tradisional tidak hanya perempuan Islam, tapi juga orang Kroasia yang Katolik dan orang Serbia yang Kristen Ortodoks. Namun, kekejaman perang justru menyadarkan sebagian orang Islam untuk memperkuat identitas agamanya. Jilbab akhirnya juga dipakai oleh generasi muda perempuan di sana, yang sebelum ini cenderung mengambil mode pakaian Eropa.

Saya jawab pertanyaan itu: "Ya. Istri saya memakai jilbab". Dan dia bertambah terkesima. Dia memandang saya dengan mata menyelidik seperti tidak percaya. Sebentar tercenung, dia mengatakan: "Saya sedih dan kasihan tentang nasib perempuan Islam."

Pembicaraan seperti ini sebenarnya mengesalkan. Meski saya banyak membaca tentang betapa kurang tahunya orang Eropa terhadap Islam, dan karenanya saya bisa menoleransi kesalahpahaman, saya tersentak oleh ignoransi dan prasangka yang begitu kental di kalangan orang Eropa terhadap dunia luar dan khususnya terhadap Islam.

Saya merasa seperti tertuduh. Teman saya ini mungkin beranggapan semua lelaki Islam suka menindas perempuannya, mengerangkeng istrinya di rumah seraya di luar rumah dia bisa mencari banyak perempuan untuk bisa dikawini, bahkan gadis-gadis di bawah umur. Dia juga menganggap hijab/jilbab sebagai simbol keterbelengguan perempuan Islam.

Anggapan dasar itulah yang antara lain mengilhami Barat untuk menunaikan "missi suci" membebaskan perempuan dari agama yang terbelakang seperti Islam. Ada sejumlah argumen di Amerika bahwa agresi ke Irak dan Afghanistan bisa dibenarkan dalam konteks membebaskan perempuan dari keterbelakangan Islam.

Namun, sebenarnya, Eropa dan Amerika tidak belajar dari sejarah kolonialisme, ketika "missi suci" itu, yang kini dipoles dengan selubung "demokrasi dan penegakan HAM", sebenarnya merupakan dalih untuk eksploitasi ekonomi belaka.

Saya bukannya tak setuju pada demokrasi dan penghormatan hak asasi. Tapi, belakangan cenderung kecewa ketika banyak pidato demokrasi dan HAM terbukti hanya lip-service belaka.

"Missi suci" George Bush untuk menciptakan "demokrasi" di Afghanistan dan Irak, misalnya, justru telah menyengsarakan perempuan di kedua negeri itu, lebih dari yang bisa ditanggung di zaman Saddam Hussein dan Taliban.

Kembali ke perbincangan di Bosnia itu, saya bilang pada teman Swedia saya. "Anda benar." Ada banyak perempuan yang menderita di bawah Islam, terutama di Saudi Arabia--negeri Islam fundamentalis yang justru paling pro-Barat, khususnya Amerika. Tapi, kata saya, "Anda bisa melihat gambaran yang berbeda di luar Saudi."
 
Negeri-negeri Muslim seperti Turki, Pakistan, Bangladesh dan Indonesia pernah memiliki perdana menteri atau presiden perempuan. Di Iran, perempuan menduduki jabatan-jabatan penting di parlemen.

Pernahkah Amerika, negeri yang mengaku paling "demokratis dan menghormati HAM", memiliki presiden perempuan?

Betapa ironis ketika Eropa atau Amerika bicara tentang perempuan Islam dan Timur.

Di Pakistan, Amerika mendukung jenderal diktator yang mengkudeta Perdana Menteri Benazir Buttho, seorang Muslimah lulusan Oxford University. Atau, Barat diam saja menyaksikan militer Myanmar memberangus Aung San Su Kyi, lulusan Oxford yang lain, sampai sekarang.

Pernahkah ada rencana George Bush atau Tony Blair menyerbu Myanmar untuk membebaskan perempuan di sana? Myanmar tidak punya minyak seperti Irak atau Afghanistan, dan tidak sama strategisnya dengan Saudi untuk ditundukkan, itulah soalnya!

Banyaknya perempuan di negeri Islam yang menduduki jabatan tinggi tidak otomatis mencerminkan tiadanya penindasan perempuan. Tapi, saya bilang pada teman saya, "ada terlalu banyak fantasi, ketimbang realitas, ketika orang Barat bicara soal penindasan perempuan di Timur."

"Istri saya seorang dokter," kata saya. "Dia punya pendidikan lebih tinggi ketimbang saya dan saya tidak pernah mengurungnya dalam rumah." Hal seperti itu, kata saya, berlaku umum dalam masyarakat Islam di Indonesia. "Ibu saya, seorang guru Sekolah Dasar, yang mengajari saya kesukaan akan membaca sastra, tidak pernah enggan mendebat argumen suaminya."

Saya bilang pada teman Swedia tadi, saya tidak rajin membuka Qur'an, tapi saya tahu pesan esensial Kitab Suci ini tidak pernah melihat perempuan lebih rendah dari lelaki. Qur'an memang memperlakukan perempuan dan lelaki secara berbeda, dan untuk banyak hal sering dipakai sebagai dalih lelaki menindas perempuan, suatu hal yang menyedihkan dan suatu hal yang harus senantiasa dikritik.

Tapi, bahkan tanpa membaca Qur'an saya bisa mengatakan lelaki dan perempuan memang berbeda, baik secara biologis maupun prioritas perannya secara sosial.

Mungkin ada banyak perempuan yang tidak ingin "dilindungi" dan "dibedakan", dua kata yang secara gender sering dianggap sebagai pelecehan. "Perempuan sama kuatnya dengan lelaki," kata kaum feminis. Jika begitu bolehkah saya menyarankan perempuan yang mengatakan hal itu pergi ke Kompleks Pasar Tanah Abang, Jakarta, berkaos oblong ketat pada tengah malam, sendirian!

"Bagaimana dengan poligami dalam Islam?" kata teman saya tadi. "Tidakkah itu bentuk penindasan?"

Saya bilang, ada banyak penafsiran baru tentang poligami ini di kalangan orang Islam yang beragam mazhab. "Namun, bahkan di kalangan yang setuju, praktek poligami dalam Islam tidak seluas seperti yang dibayangkan orang. Dan karena poligami bukan merupakan kewajiban, monogami tidak dianggap berdosa dalam Islam."

Ketika menjawab ini, saya teringat perdebatan antara Mohammad Natsir (pendukung Syariah) dengan Bung Karno (nasionalis sekuler). Meski menyetujui poligami, setahu saya, Natsir tidak pernah mempraktekannya. Sebaliknya, Bung Karno beristri banyak meski tidak setuju Syariah.

Perbincangan Zagreb-Sarajevo itu menyadarkan saya perlunya pengalaman empiris dalam masyarakat Islam lebih banyak dibahas ketimbang kita hanya sekadar memperdebatkan konsep atau dogma, baik pro-Syariah maupun anti-Syariah, baik pro maupun anti-poligami.

Realitas tidak pernah hitam-putih, dan selalu menyediakan ruang untuk kompromi dalam konotasi positif, atau sebaliknya, hipokrisi di kedua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar