Bagaimana perasaanmu saat ada orang yang terguling dari sepeda, jatuh
di tempat yang becek, eh masih ketiban sepedanya, tapi orang-orang di
sekitarnya malah tertawa, bahkan ada yang nyukurin. Kalau itu adegan slapstick (lawakan fisik) macam film komedi Home Alone, Baby’s Days Out atau Warkop
nggak apa-apa kalau kamu ikutan terpingkal. Tapi kalau itu kejadian
nyata, sebaiknya kamu mikir-mikir dulu dengan sehat dan…jangan tertawa.
Kalau kamu tetap tertawa maka bisa jadi kamu termasuk orang yang tidak
mudah berempati pada orang lain.
Apa sih empati? Menurut Daniel Goleman yang menulis buku Kecerdasan Emosional,
empati adalah kemampuan memahami dan turut merasakan perasaan orang
lain. Apa ini penting? Ya, sangat penting. Dalam pergaulan kalau kita
tidak bisa berempati pada orang lain, amat besar kemungkinan orang lain
nggak bakal betah berkawan dengan kita. Bagaimana nggak? Lha wong
saat mereka tertimpa musibah kita justru bahagia, dan saat mereka
bahagia kita malah bersedih (karena iri hati). Manusia manapun, pastinya
ingin berkawan dengan orang yang bisa diajak happy dan terutama sedih bersama-sama. Seperti kata peribahasa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Bukan ringan saja dijinjing, kalo berat elu yang pikul sendirian dikejar sama anjing. Seberapa pintar kita berempati pada orang lain, maka sejauh itulah kita bisa menjadi seorang kawan yang baik buat orang lain.
Pentingkah kita berempati pada orang lain? Ya adalah
jawabannya. Empati itu adalah perwujudan kasih sayang sesama manusia.
Imajinasikan seandainya di dunia tidak ada rasa empati, tidak akan ada
persahabatan, kekerabatan, kasih sayang, cinta dan keadilan. Kita akan
tumbuh menjadi orang yang kaku, strict, intoleran, bahkan bengis.
Saat orang lain menderita kita tertawa, ketika orang lain
berbuat kesalahan maka tidak ada kata maaf baginya. Dan para pemimpin
akan menjadi orang-orang bertangan besi yang gemar berkuasa tanpa peduli
pada nasib rakyatnya. Bukankah kita benci pada seseorang yang tidak mau
pusing dengan urusan orang lain? Terutama pada para pemimpin yang tidak
care pada orang yang dipimpinnya.
Suatu ketika kawan saya berbuat kesalahan pada atasannya
sewaktu bekerja. Tanpa pandang bulu atasannya memaki-maki kawan saya
tersebut di tengah-tengah pasar, disaksikan banyak orang. Kamu bisa
bayangkan betapa malu dan sakit hatinya kawan saya tersebut. Itulah
contoh seorang pemimpin yang tidak punya empati pada orang yang
dipimpinnya.
Pastinya berempati tidak saja baik untuk ukuran manusia,
tapi juga dipandang baik oleh agama. Bahkan ini yang lebih utama. Yup,
buat apa kita berbuat baik bila dipandang buruk oleh Yang Mahakuasa.
Kita menanamkan sikap empati tidak lain sebagai bagian dari menghiasi
diri dengan akhlakul karimah, menuruti perintah agama.
Rasulullah saw. adalah orang terkenal memiliki empati yang
tinggi. Kalau beliau menjadi imam shalat, beliau memendekkan bacaannya
saat mendengar tangisan anak kecil yang merengek pada ibunya, dan jika
tahu di dalam jamaah shalat terdapat orang-orang tua. Beliau juga pernah
menegur Mu’adz bin Jabal r.a. yang dikeluhkan banyak orang karena
selalu membaca surat-surat panjang dalam setiap shalat berjama’ah.
Ketika ia mendengar seorang wanita tua berkulit hitam yang biasa menyapu
mesjid telah meninggal, beliau tertegun. “Kenapa kalian tidak
memberitahukannya padaku?” kata beliau pada para sahabat. Beliaupun
melakukan shalat ghaib dua rakaat untuk wanita itu. Bukankah ini indah?
Beliau saw. juga dikenal sebagai orang yang gemar
memuliakan orang lain. Kala ada orang yang terlambat masuk ke dalam
majlis beliau meminta agar para sahabat yang lain menggeser duduk
mereka, memberi kesempatan bagi yang terlambat. Beberapa kali Nabi saw.
tidak sungkan membuka sorbannya dan menjadikannya sebagai alas duduk
para sahabat yang datang terlambat.
Empati itu wujudnya luas. Tidak iri pada kesuksesan orang
lain juga bentuk empati kita pada seseorang. Manakala adikmu naik kelas
dengan nilai memuaskan, lalu ortumu menghadiahinya sepatu Nike keluaran terbaru, turutlah merasa bahagia. Jangan malah jadi juthek.
Kalau itu kamu lakukan maka di depan mata Allah kamu adalah orang yang
mulia karena sangat berlapang dada, pandai bersyukur, dan tidak iri
hati.
Ketika kamu melihat televisi, matamu menatap anak-anak Irak
yang kurus kering, kelaparan akibat embargo biadab AS dan PBB, lalu
hatimu trenyuh, ghirah ukhuwah-mu tersentuh, bersyukurlah karena berarti kamu memiliki empati.
Kalau orang-orang di Barat sana macam Daniel Goleman dan
Patricia Patton baru mempelajari empati di abad ini, kaum muslimin sudah
mengetahuinya hampir 14 abad yang lalu. Simak saja bunyi hadits ini: “Hak
muslim atas muslim ada; menjawab salam, mendoakan kepada orang yang
bersin, menyahut undangan, menziarahi orang sakit dan mengiringi
jenazah”
Sekarang mari kita bertanya pada diri kita sendiri; kapan
terakhir kali kita menengok kawan kita yang sakit? Pernahkah kita
mendoakan sesama kawan kita dalam kebaikan? Kapan terakhir kali kita
menasihati kawan kita?
Lucunya, kita hampir selalu punya alasan untuk tidak
melakukan kebaikan itu semua. Kita bisa bilang padanya, “Maaf waktu itu
saya sedang sibuk, kamu harap maklum.” Or mungkin kita bisa bilang
padanya saat ia sedih saat kita tidak mengunjunginya saat mengalami bad days,
“masak sih ia tidak bisa memaklumi kegiatan saya.” Oh, benarkah
tindakan kita? Nggak. Karena kita tidak tahu bagaimana keadaannya saat
itu. Orang yang sedang mengalami bad days itu seringkali rapuh,
akal bisa buntu, karenanya ia membutuhkan kita ada disisinya. Walau
sekedar untuk menepuk bahunya atau mengucapkan kata, “sabarlah” padanya.
Itu adalah udara segar untuk dadanya yang sesak.
Insya Allah tidak sulit berempati pada orang lain.
Teknologi telah membantu kita untuk berbuat kebaikan pada orang lain.
Ada surat, telepon, ponsel, sms, email bahkan kita bisa sisipkan aneka emoticons kita to show how empathy we are J
Hadits di atas seandainya kita amalkan dalam kehidupan
sehari-hari, dijamin akan memperkokoh hubungan kita dengan orang-orang
di sekitar kita; orang tua, saudara, kawan-kawan dan tetangga. Kita
tidak akan pernah merasa sendiri karena akan selalu ada orang yang
menemani kita di saat dirundung duka. Itulah sebabnya Islam terkenal
ajarannya yang penuh dengan perdamaian dan keselamatan. Dalam satu ayat
Al Qur’an Allah menyebut ciri-ciri kaum muslimin sebagai, “kasih sayang pada sesama,”(Al Fath [49]:29). Mau kan kita termasuk golongan itu?
Empati janganlah diartikan sebagai basa basi, tapi ia harus
datang dari lubuk hati. Keikhlasan hati kitalah yang akan menentukan
kualitas pahala kita di hadapan Allah SWT. Karenanya berempati bukanlah
ditujukan untuk sekedar menyenangkan orang lain, atau agar kita
dipandang baik oleh orang lain. Tidak untuk itu. Tapi kebaikan hati yang
kita kerjakan – dalam hal ini empati – dimaksudkan sebagai amal saleh
yang dianjurkan oleh agama. Ridlo Allah adalah tujuan kita dalam
beramal. Jangan khawatir, setiap kebaikan yang kita kerjakan pastinya
akan menuai kebaikan pula.
So, milikilah sikap empati sekarang juga. Beri care dan attention
pada orang di sekitar kita, baik yang telah kita kenal ataupun yang
belum, karena kebaikan akan membuat semua orang menjadi kawan.
Kunjungilah kawanmu yang sakit, hiburlah ia. Bila tidak sempat kirimlah
surat, sms, atau titipkan salam pada orang yang mengunjunginya.
Kalau kamu seorang pemimpin, anggaplah teman-teman yang
kamu pimpin sebagai kawan, bukan anak buah apalagi jongos. Hormati
mereka dan berikan mereka tugas menurut kemampuan mereka. Itulah empati
seorang pemimpin pada orang yang mereka pimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar