“Barangsiapa yang menjadikan dunia ini sebagai
satu-satunya tujuan akhir (yang utama), niscaya Allah akan menyibukkan dia
dengan (urusan dunia itu) dan Allah akan membuatnya miskin seketika, dan ia
akan tercatat (ditakdirkan) merana di dunia ini. Tetapi barangsiapa yang
menjadikan akhirat sebagai tujuan akhirnya, Allah akan mengumpulkan teman-teman
untuknya dan Allah akan membuat hatinya kaya dan dunia akan takluk dan menyerah
kepadanya.”
- Al-Hadist -
Setiap orang yang bekerja atau menjalankan bisnis
tentu sudah memiliki mimpi-mimpi yang menjadi tujuan hidupnya. Sebagian dari
mereka memiliki visi atau tujuan yang jauh kedepan berdasarkan nilai-nilai suara
hati nuraninya, sedangkan yang lain hanya berkeinginan menjadi seorang
wirausahawan terkenal dan kaya raya. Bagi mereka yang berbisnis dengan hati
nurani, menjadi wirausahawan kaya raya bukanlah menjadi tujuan akhirnya.
Memiliki kekayaan berlimpah bukanlah tujuan utamanya, melainkan sebagai sarana
untuk memperbanyak kebaikan dan memperkaya jiwanya.
Keuntungan atau “profit” adalah penting dalam
berbisnis, meski demikian keuntungan bukanlah tujuan akhirnya. Karena
keuntungan dipandang sebagai sarana memberikan manfaat bagi orang lain
sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain mereka memiliki keinginan memperkaya harta
dan memperkaya jiwanya secara seimbang. Karena berbisnis adalah bagian dari
ibadah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa nantinya.
Dalam Bisnis, keuntungan atau “profit” adalah
darah bagi kehidupan usaha tersebut. Maka, hampir semua pelaku usaha sepakat
bahwa keuntungan adalah hal yang harus diperjuangkan demi pertumbuhan usahanya.
Bagi mereka yang hanya dimotivasi oleh kepentingan materialisme, maka dalam
berbisnis lebih mengedepankan nilai-nilai materialisme, mendahulukan
kepentingan keuntungan harta yang sebanyak-banyaknya. Akibatnya banyak pelaku
bisnis yang rela melakukan berbagai terobosan baru, menempuh cara-cara yang kurang
terpuji, mempercayai mistis demi keuntungan uang semata.
Seringkali mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya
nilai keuntungan itu bukan semata-mata diukur dari besarnya uang yang
dibukukan. Mereka, cenderung melakukan berbagai cara asalkan dapat mendatangkan
materi kekayaan bagi hidupnya. Akibatnya mereka mudah mengabaikan nilai-nilai
spiritual dalam hatinya, demi meraih keuntungan bisnisnya. Inilah yang
menjadikan banyak orang kehilangan makna kesuksesan yang diperolehnya.
Keberhasilan usaha dan harta yang dimilikinya tidak memberikan nilai tambah
bagi kemuliaan dan kebahagiaan tertinggi hidupnya.
Mereka begitu sibuknya mencari berbagai cara dan
alternatif demi memaksimalkan pendapatan dan keuntungan perusahaan. Bahkan
tidak sedikit yang tanpa disadarinya telah dikuasai dan dikendalikan oleh
kepentingan materi ini, hingga mengabaikan nilai-nilai spiritualitas kebenaran.
Secara kasat mata kita juga dapat melihat kebanyakan orang-orang yang tenggelam
dengan penyelewengan dan penipuan dalam dunia bisnis adalah orang-orang yang
terlena dengan kekayaan harta, sehingga mereka mengabaikan nilai-nilai
spiritual dalam hatinya. Mereka ini menjadi manusia yang begitu mendewakan
harta kekayaan dan men-Tuhankan harta kekayaan.
Bisnis sesungguhnya memiliki bentangan makna yang
luas, bukan semata-mata dinilai dari keuntungan uang, namun ada makna yang
lebih tinggi dari keuntungan materi. Karenanya dalam berbisnis selain untuk
meraih kesejahteraan materi, sebaiknya mempertimbangkan agar Bisnis yang kita
lakukan, produk yang kita hasilkan dapat memberikan kontribusi kebaikan dan
manfaat bagi orang lain sebesar-besarnya. Dengan demikian, berbisnis akan
selalu mempertimbangkan nilai-nilai etika, moralitas dan hati nurani.
Menurut Henry David Thoreau, “A man is rich
in proportion to the things he can afford to let alone. – Seseorang yang mampu
hidup sederhana, maka ia tidak akan pernah merasa kekurangan.” Maknanya,
kita perlu mengembangkan budaya positif dalam berbisnis, bukan hanya
berorientasi pada kekayaan dan hidup kemewahan, melainkan berorientasi pada
manfaat kebaikan bagi banyak orang lain. Seperti apa yang sudah dilakukan oleh Waren
Buffet misalnya, perlu menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua. Meski
ia dinobatkan sebagai orang terkaya di dunia dengan total kekayaan mencapai 62
milliar dollar AS menurut majalah Forbes, ia tetap hidup sederhana di rumah
yang dibelinya sejak tahun 1958 dengan harga 31 ribu dollar AS. Ia bahkan lebih
senang menyumbangkan harta kekayaannya untuk kepentingan sosial kemanusiaan
melalui Yayasan sosial. Tak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai 30,7 milliar
dollar AS dan tercatat sebagai penyumbang tertinggi dalam sejarah.
Demikianlah bahwa bisnis, sesungguhnya merupakan
panggilan mulia dalam kehidupan. Karena Bisnis dapat menjadi jalan bagi
seseorang untuk memperkaya harta kekayaan dan menggunakannya untuk memperbanyak
kebaikan bagi orang lain. Bisnis dapat menjadi jalan memperoleh makna kehidupan
dan kebahagiaan sejati melebihi nilai-nilai materialisme. Berbisnis dapat
menjadi bagian dari ibadah dan bentuk pengabdian kita kepada Tuhan, kalau
dijalankan dengan mengedepankan nilai-nilai spiritualitas kebenaran. Bisnis
adalah bagian dari melayani orang lain dan harus dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa nantinya.
Mereka yang berbisnis dengan berorientasi pada manfaat
kebaikan bagi orang lain, menjadikan usahanya adalah jalan untuk meraih
keberkahan hidup. Dengan demikian tidak mudah dikendalikan oleh nafsu kekayaan
berlebihan, tidak serakah dan tamak akan harta kekayaan dan kekuasaan
berlebihan. Meskipun mungkin dapat hidup serba mewah dan modern dengan
keuntungan usaha yang diperolehnya, namun tetap menjalani hidup sederhana dan
lebih senang memberikan manfaat kebaikan kepada banyak orang. Hidup sederhana
bukan berarti tidak memanfaatkan segala fasilitas yang memungkinkan kita lebih
maju, melainkan hidup hemat, tidak boros atau berlebih-lebihan dan memiliki
kepedulian yang tinggi kepada orang lain yang membutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar