Cinta ALLAH kepada hamba-Nya merupakan sesuatu yang
tak seorang pun mampu mengetahui nilainya, kecuali mereka yang makrifat kepada
ALLAH dengan seluruh sifat yang melekat pada-Nya sebagaimana Dia menyifati
Diri-Nya. Tidak pula diketahui kecuali oleh mereka yang mampu merasakan adanya
aliran cinta itu pada perasaan, jiwa dan seluruh wujud dirinya.
Para ulama mengatakan “Cinta ALLAH kepada hamba-Nya
dimaknai dengan keridhoan-Nya kepada hamba, pujian-Nya kepada mereka dan
balasan-Nya atas amal sholeh yang dilakukan dengan balasan yang berlipat ganda.
Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam shohehnya
dari hadits Annas bin Malik ra. Berkata : Rasulullah bersabda tatkala
meriwayatkan dari Rabbnya. Dari Abu Hurairoh ra berkata : Rasulullah bersabda :
” Sesungguhnya ALLAH Ta’ala berfirman:
‘Barang siapa yang menghinakan wali-Ku maka sungguh
telah menantang-Ku untuk berperang, tiada seorang hamba mendekatkan diri
kepada-Ku yang lebih Aku cintai dari menunaikan apa-apa yang Aku fardhukan
atasnya. Hamba-Ku senantiasa melakukan ibadah nafilah hingga Aku mencintainya.
Dan jika Aku mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang ia mendengar
dengannya, dan menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya, menjadi
tangannya yang ia memegang dengannya, dan menjadi kakinya yang ia berjalan
dengannya. Jika dia memohon kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya dan jika dia
meminta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya. Aku sama sekali tidak
ragu melakukannya sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang hamba-Ku
mukmin yang tidak suka kematian dan Aku pun tidak suka menyakitinya, hanya saja
kematiannya adalah sesuatu yang mesti atasnya.’
Kedudukan Cinta
Kepada ALLAH dan Rasul-Nya
Dalam kitab “Raudhah Al Mahbub min Kalaam muharrik Al
Quluub”, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan : “Cinta ibarat pohon yang tumbuh
di hati. Tonggaknya adalah menghinakan diri di hadapan yang dicintai, batangnya
adalah ma’rifat kepada-Nya, sedangkan dahannya adalah rasa takut, daunnya
adalah rasa malu, buahnya adalah taat, air yang menyburkannya adalah dzikir
kepada-Nya, maka tatkala cinta kehilangan salah satu di antara hal-hal
tersebut, hilanglah sifat kesempurnaannya.
Islam adalah agama yang mendasari ajarannya dengan
realitas, bukan agama yang didasarkan pada khayalan dan ilusi. Ia tidak
menafikan adanya perasaan saling mencintai antar manusia, sebab itu adalah
fitrah manusia. Secara naluri kita mencintai istri, keluarga, harta dan tempat
tinggal. Akan tetapi tidak sepatutnya sesuatu yang bersifat duniawi ini lebih
ia cenderungi dan cintai dibanding ALLAH dan Rasul-Nya. Jika ia lebih
mencintainya, berarti tidak sempurna imannya. Ia harus berusaha menyempurnakannya.
Mencintai ALLAH dan Rasul-Nya melebihi dari segalanya
adalah jalan menuju keselamatan yang hakiki. ALLAH. Dialah Dzat yang paling
berhak untuk dicintai, yang lebih patut menjadi labuhan hati dibandingkan orang
tua, anak, bahkan diri sendiri. Inilah maqom tertinggi dari berbagai tingkatan
cinta bagi para pencari cinta. Inilah cinta yang menyelamatkan.
“Tatkala seorang bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang hari kiamat, beliau menjawab dengan sebuah pertanyaan, ‘Apa yang sudah
engkau persiapkan untuknya? Orang itu menjawab, ‘Tidak ada lain kecuali bahwa
saya mencintai ALLAH dan Rasu-Nya.’ Rasulullah bersabda : ‘Engkau beserta orang
yang engkau cintai. ” (HR Bukhari Muslim)
Sungguh cinta kita kepada kedua orang tua, keluarga
dan dunia tidak boleh melebihi cinta kita kepada Rasul-Nya, yaitunabi Muhammad
SAW. Dari Anas ra., dia berkata bahwa Nabi bersabda :
“Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga aku
lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” (HR Bukhari
dan Muslim)
Kecintaan kita kepada Rasulullah itu mengikuti
kecintaan kita kepada ALLAH SWT. Dan ini merupakan buah kecintaan kita
kepada-Nya.
“Katakanlah : ‘Jika kamu benar-benar mencintai ALLAH,
ikutilah aku, niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ ALLAH Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran : 3)
Tingkatan-tingkatan
Cinta
Menurut Abdullah Nasih Ulwan, cinta memiliki tiga
tingkatan.
- Cinta tingkat tertinggi, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya
- Cinta Tingkat menengah adalah cinta kepada orang tua, anak, saudara, istri/suami dan kerabat
- Cinta tingkat terendah; ialah cinta yang lebih mengutamakan cinta kepada keluarga, harta dan masalah dunia dari pada mencintai Allah dan Rasul-Nya
Tiga tingkatan cinta itu berdasarkan Firman Allah Pada
surat At-Taubah [9]:24
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad
di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”(Qs. At
Taubah[9]:24)
Dari ketiga tingkatan cinta tersebut kemudian di
sederhanakan lagi menjadi dua bagian cinta. Yaitu cinta kepada sesama makhluk
dan cinta kepada Allah swt.
a. Cinta Kepada Makhluk
Cinta kepada sesama makhluk pada hakekatnya harus
menjadi personifikasi cinta kepada Allah SWT. Artinya, ketika kita mencintai
saudara kita, anak-anak, orang tua, pekerjaan dan yang lainnya, maka
cinta-cinta ini harus disandarkan pada kecintaan kita kepada Allah SWT. Sering
timbul pertanyaan, bagaimana mencintai seseorang karena kita mencintai karena
Allah.
Contoh sederhana yang dapat kita pelajari misalnya;
ketika laki-laki mencintai wanita karena Allah maka sang laki-laki harus
berlaku jujur, setia, mengasihi dan tidak melakukan sesuatu yang di benci
Allah, yaitu bermaksiat.
Ia lebih mendahulukan ridho Allah dari pada orang yang
di kasihinya. Ia mampu menahan diri dengan tidak mengikuti hawa nafsunya yang
menyebabkan ternoda kemurnian cintanya. Maka itu berarti kita berada pada jalan
kecintaan karena Allah SWT.
Dari rasa cinta kita kepada makhluk yang terpenting
adalah cinta kita kepada sesama muslim. Inilah cinta yang akan melahirkan
bangunan kokoh persaudaraan, hati menjadi lapang, beban terasa ringan, wajah
ceria penuh senyuman. Ikatan cinta antara sesama kaum muslimin merupakan salah
satu indicator keimanan yang sempurna. Dari Anas Bin Malik r.a. RAsulullah
bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian, sehingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. ( Hr.
Shoheh Muslim )
Dalam hadits lain, dari riwayat Abu Hurairah ra.
Rasulullah bersabda:
“Di hari kiamat nanti, Allah Swt, berfirman,”
Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagugan-Ku?. Hari ini
mereka Aku naungi dengan perlindungan-Ku, di hari ketika tidak ada perlindungan
kecuali perlindungan-Ku.”.
Maksud dari kata keagungan-Ku dalam hadits ini adalah
didasari oleh keagungan dan taat kepada Allah, bukan karena landasan
kepentingan duniawi atau tujuan-tujuan pribadi yang materialistis.
b. Cinta Kepada Allah SWT
Mencintai Allah adalah cinta dalam tingkatan yang
paling tinggi. Mencintai Allah berarti tidak memberi kesempatan kepada jiwa
untuk mencintai yang lain. Seperti tergambar dalam sebuah ayat:
“Dan diantara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat),
bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”.
Qs. Al-Baqarah [2]:165
Dalam ayat ini di gambarkan bahwa orang yang
benar-benar mencintai Allah adalah orang yang tidak punya sesembahan-sesembahan
lain yang dapat menandingi cintanya kepada Allah. Dengan kata lain, mencintai
Allah adalah karena Allah sendiri bukan karena yang lainnya.
Hal yang paling mudah dipahami oleh akal pikiran
mengapa kita hanya patut mencintai Allah adalah karena anugerah nikmat yang
telah di berikan Allah kepada kita. Kenikmatan yang seluruh manusia tenggelam
di kedalaman samuderanya, yang mengiringi manusia bersama hirupan napas dan
detak jantungnya, yang menyertainya di setiap tempat dan waktu, yang bersama
keluasan dan keabadian-Nya semata bersumber dari Dzat Allah Swt.
Rasulullah bersabda:
Rasulullah bersabda:
“Cintailah Allah karena nikmat yang di anugerahkan kepada kalian, cintailah aku karena cinta kalian kepada-Nya, dan cintailah ahlulbaitku karena cinta kalian kepadaku” (Hr. Tirmidzi dan Hakim)
Cinta Adalah Fitrah
Insani
Cinta adalah Fitrah manusia yang murni, tak dapat
dipisahkan dengan kehidupan, ia selalu dibutuhkan. Jika seseorang ingin
menikmatinya dengan cara yang terhormat dan mulia suci dan penuh taqwa tentu ia
akan mempergunakan cinta itu untuk mencapai keinginan yang suci dan mulia pula.
Cinta adalah suci. Karena ia berasal berasal dari yang Maha Suci, yakni Allah
SWT.
Hadirnya cinta pada diri seseorang itu sebanding
dengan kehadiran manusia dimuka bumi ini. Muhammad Ibnu Daud Azh-Zhahir
mengatakan; “Cinta merupakan cermin bagi seseorang yang sedang jatuh cinta
untuk mengetahui watak dan kelemah lembutan dirinya dalam citra kekasihnya.
Karena sebenarnya ia tidak jatuh cinta kecuali terhadap dirinya sendiri.
Kecenderungan manusia pada keindahan adalah fitrah, tetapi juga merupakan ujian
bagi manusia.
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anakanak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”[Qs.
Ali Imran (3):14]
Dan Firman Allah lainnya:
Disitulah diuji orang-orang
mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.(Qs. Al Ahzab[33]: 11)
Ibnu Qayyim Al-jauzi mengungkapkan ; Dalam rasa cinta
melibatkan sampai 50 tingkat perasaan. Dari kondisi yang membahagiakan, sampai
pada menyedihkan. dari adanya kerinduan sampai keinginan untuk selalu
mencurahkan kasih sayang. Dan dari cinta buta yang memperdayakan sampai cinta
tertinggi yang melahirkan penghambaan. Ibnu Qayyim Berkata: Mahabbah (cinta)
yang bermanfaat itu terbagi tiga yaitu:
- Mahabbatullah (cinta kepada Allah), ia adalah sumber segala cinta, dan merupakan dasar iman dan tauhid.
- Mahabbah Fillah (cinta karena Allah) dan
- Mahabbah (cinta) kepada sesuatu yang dapat membantu kita semakin taat kepada Allah dan mejauhi laragannya.
Dua yang terakhir ini adalah penyerta cinta ini
Kemudian Mahabbah (cinta) yang membahayakan terbagi tiga pula, Yaitu:
- Al-Mahabbah ma’ Allah (mencintai sesuatu disamping mencintai Allah), ini adalah sumber kemusyrikan dan merupakan cinta yang tercela.
- Mahabbah terhadap perkara yang dibenci Allah dan
- Mahabbah yang dapat memangkas cinta seseorang kepada Allah atau menguranginya.
Sedangkan dua yang terakhir ini adalah penyerta cinta
ini. Abdullah Nashih Ulwan dalam ‘Al-Islam Wal Hub’ menulis tentang cinta. Ia
katakan, Cinta adalah perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang
untuk mencintai kekasihnya dengan penuh gairah, lembut, dan kasih sayang.
Penulis :
Ustadz Anwar Anshori Mahdum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar