Selasa, 27 Desember 2011

Menghadap Wajah Allah

Menghadap Wajah Allah TAFSIR AL-QUR'AN [QS. Al-Baqarah (2):115]

"Wa lillaahil aahil masyriqu wal maghribu fa ainamaa tuwalluu fa tsamma wajhullaahi innallaaha waasi'un 'aliim" (Dan kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka kemana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui) (QS. Al Baqarah, 2:115).

Pada ayat sebelumnya (QS. Al Baqarah ayat 113 & 114) telah dinyatakan oleh Allah SWT dan sekaligus mengingatkan kita bahwa orang-orang musyrikin tidak akan pernah berhenti untuk selalu saja menghalangi orang-orang beriman dalam memakmurkan masjid dan bahkan mereka sangat berkeinginan menghancurkannya. Padahal, bagi mereka untuk menghancurkan masjid sebagai tempat ibadah mustahil dapat berhasil karena mereka harus menghancurkan seluruh bumi, karena bagi ummat Rasulullah Saw seluruh bumi berfungsi sebagai masjid. Di dalam ayat 115 ini Allah SWT mempertegas atas ketidakberhasilan upaya mereka.

Di awal ayat 115 QS. Al Baqarah ini dinyatakan: "Wa Ilillaahil masyriqu wal maghribu" (Dan kepunyaan Allah Timur dan Barat). Ayat ini menyebutkan hanya dua arah (Timur dan Barat) sebagai "pengkhususan" bahwa kedua arah ini yang paling dikenal manusia. Penyebutan dua arah ini tidak dimaksudkan bahwa Allah hanya menguasai arah Timur dan Barat saja, tapi tentu semua arah adalah milik dan menjadi kekuasaan Allah.

Kepunyaan Allah meliputi "segala sesuatu" yang ada di langit dan di bumi, termasuk diri kita pun adalah milik Allah. Karena semua milik Allah berarti kita sesungguhnya tidak memiliki apa-apa. Klaim-klaim terhadap sesuatu bahwa ini milik kita hanya istilah saja, sebenarnya klaim kita tersebut adalah bersifat kepemilikan amanah yang suatu saat kepemilikan tersebut dapat diambil-Nya. Maka betapa benci dan murka Allah jika ada seseorang yang berlaku sombong. Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dinyatakan: "Keagungan dan kemuliaan itu adalah ibarat kain-Ku dan kebesaran serta kesombongan adalah ibarat selendang-Ku, maka barangsiapa hendak menyamai-Ku dalam kedua sifat itu niscaya akan Aku siksa". Juga dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan Al Hakim dinyatakan: "Kebesaran dan kesombongan itu adatah ibarat pakaian-Ku, barangsiapa hendak menyamai-Ku dalam pakaian itu, niscaya akan Aku binsakan".

Ada "dua" alasan yang sangat mendasar bagi manusia untuk tidak layak sombong, Pertama, karena manusia tidak memiliki apa-apa. Semua yang ada di tangan manusia hanya titipan dari Allah. Kedua, jika dia akan sombong, maka dia harus memiliki kelebihan yang tidak bisa ditandingi oleh orang lain. Kesombongan dari sisi usia, misalnya, apakah usia dia dapat melebihi seribu tahun seperti usia Nabi Nuh As ?. Kesombongan dari sisi kekayaan, apakah dia dapat melebihi kekayaan yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman As ? Hal demikian hendaknya menjadi bahan intropeksi diri kita bahwa sebenarnya tidaklah layak bersombong diri bagi kita karena semua yang kita miliki adalah kepunyaan Allah SWT.

Dalam lanjutan ayat dinyatakan: "Fa ainamaa tuwalluu fa tsamma wajhullaahi" (Maka kemana saja kamu menghadap di situlah wajah Allah). Ayat ini mengisyaratkan bahwa ke mana pun kita berpaling niscaya kita akan berjumpa dengan Allah, karena Dia tidak hanya berada di Timur atau Barat atau di tempat-tempat tertentu saja. Jika Allah ada di satu tempat maka Dia itu terikat dengan ruang dan waktu, sementara ruang dan waktu adalah ciptaan-Nya. Karenanya, mustahil Allah terikat oleh ciptaannya sendiri.

Pada penghujung ayat dinyatakan: "Innallaaha waasi'un "aliim" (Sesungguhnya Allah Mahaluas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui). Allah Mahaluas kekuasaan-Nya karena Dia bukan hanya menguasai Timur dan Barat, tapi seluruh alam semesta dengan segala isinya adalah milik Allah swt. Karena Dia Maha luas kekuasaannya, maka hendaknya jangan dibayangkan Allah itu sangat sibuk mengurus makhluknya. Dalam sebuah riwayat, seorang sahabat bertanya kepada Sayidina Ali Ra.: "Bagaimana caranya Allah menghisab manusia dalam satu waktu ?".
Jawab Ali Ra: "Apa sulitnya bagi Allah melakukan seperti itu yang tidak bedanya dengan Allah memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya dalam satu waktu". Sebuah jawaban yang sangat bermakna bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dalam satu saat Allah memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya yang merayap di muka bumi.

Pada ayat selanjutnya dinyatakan: "Wa qaalut takhadzallaahu waladan subhaanahuu bal lahuu maa fis samaawaati wal ardhi kullul lahuu qaanituun" (Mereka orang-orang kafir) berkata, "Allah mempunyai anak", Maha suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya, semua tunduk kepada-Nya) (QS. AlBaqarah, 2:116). Di awal ayat ini dinyatakan bahwa orang-orang kafir masih meragukan Kemahakuasaan Allah yang akhirnya mereka menuduh Allah memiliki anak. Sebuah fitnahan yang keji bagi Allah dari mereka, padahal di penghujung ayat sebelumnya (ayat 115) telah dinyatakan bahwa Allah Maha luas kekuasaan-Nya.

Sebagai jawaban atas fitnahan tersebut, paling tidak ada "tiga" jawaban dari Allah dalam ayat ini. Pertama, dalam lanjutan ayat dinyatakan: "Subhaanahuu" (Mahasuci), Dia Mahasuci dari apa yang mereka tuduhkan. Allah Maha suci dari Dia mempunyai anak seperti halnya makhluk. Keesaan-Nya dinyatakan dalam firman-Nya: "Qul huwallaahu ahad, Allaahush shamad, Lam yalid wa lam yuulad, Wa lam yakul lahuu kefuwan ahad" (Katakanlah, "Dia-lah Allah yang Mahaesa, Allah tempat meminta, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya). Bahkan Allah SWT mengajarkan kepada Rasulullah Saw lewat firman-Nya: "Katakanlah, "Jika Yang Maha Pengasih itu mempunyai anak, maka akulah orang yang mula-mula menyembahnya" (QS. Az Zukhruf, 43:81). Ayat ini mengisyaratkan bagi mereka yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak diminta supaya membuktikan anggapan mereka tersebut.

Kedua, dinyatakan: "Bal lahuu maa fissamaawaati wal ardhi" (Kepunyaan Allah bagi-Nya segala yang ada di langit dan di bumi). Ditegaskan Allah adalah pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, maka tidaklah relevan tuduhan mereka bahwa Allah mempunyai anak. Ketiga, dinyatakan: "Kullul lahuu qaanituun" (Semua tunduk kepada-Nya). Semua yang ada di langit dan di bumi ini kesemuanya tunduk kepada-Nya.

Perihal tuduhan atau fitnahan yang keji bagi Allah baik dari orang-orang Musyrikin, Yahudi maupun Nasrani yang menuduh Allah mempunyai anak hendaknya harus segera diluruskan atas kesesatan mereka tersebut. Dalam Al Qur'an banyak ditemukan ayat-ayat yang senada atas tuduhan mereka tersebut. Dalam QS. Ash-Shaaffaat ayat 151-153 dinyatakan: "Ketahuilah, sesungguhnya mereka dari kedustaaannya mengatakan, "Allah mempunyai anak". Dan sesungguhnya mereka adalah orang-orang berdusta. Apakah Dia memilih anak-anak perempuan daripada anak laki-laki?". Dalam firman-Nya pula: "Orang-orang Yahudi berkata, "Uzair anak Allah". Dan orang Nashara mengatakan, Almasih anak Allah" (QS. At Taubah, 9:30). Juga firman-Nya: "Dan mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pengasih mempunyai anak". Sungguh kamu telah mengadakan kemungkaran besar dari perkataan itu hampir langit terpecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping disebabkan mereka mendakwakan bagi anak Yang Maha Pengasih. Tiadalah patut bagi Yang Maha Pengasih bahwa Dia mengambil anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi melainkan datang sebagai hamba kepada Yang Maha Pengasih" (QS. Maryam, 19:88-93).

Tidaklah layak timbulnya fitnah atau tuduhan dari mereka jika mereka mau menggunakan akal sehatnya, karena Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya perbandingan (kejadian) Isa di sisi Allah adalah seperti (kejadian) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah", maka jadilah dia"(QS. AHImran, 3:59). Jika mereka menuhankan Isa karena lahir tanpa ayah, logikanya justru mereka harusnya lebih menuhankan Adam karena lahir tanpa ayah dan ibu.

Berbicara perihal ciptaan, maka jenis sesuatu yang diciptakan pasti akan berberbeda dengan jenis yang menciptakannya. Misal, seseorang membuat makanan, maka jenis makanan tersebut pasti akan berbeda dengan si pembuatnya. Jika Isa diciptakan sebagai manusia maka pasti akan lain jenisnya dengan Allah karena Dia penciptanya, sementara jika Isa dianggap sebagai anak Tuhan maka tentu semua manusia harus dianggap Tuhan, bukan hanya Isa saja. Demikian pula jika berbicara perihal anak, biasanya diperlukan untuk melanjutkan keturunan sehingga orang tua tergantung kepada keturunannya. Allah sangat mustahil memiliki ketergantungan terhadap makhluk ciptaan-Nya.

Allah memiliki segala sifat kesempurnaan sebelum Allah menciptakan makhluk-Nya. Dan Allah sama sekali tidak akan pernah berkurang kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad, dinyatakan: "Hai hamba-hamba-Ku, andaikan kamu semua dari bangsa manusia dan jin dari yang pertama sampai yang terakhir berdiri di atas sebidang tanah meminta-minta kepada-Ku dan Aku beri masing-masing daripada kamu apa yang dimintanya tidaklah itu akan mengurangi sedikit pun dari kekayaan-Ku kecuali seperti apa yang akan dikurangi oleh sebuah jarum yang dimasukkan ke dalam laut"

Di penghujung ayat dinyatakan: "Kullul lahuu qaanituun" (Semua tunduk kepada-Nya). Hal ini memperjelas kepada kita bahwa semua makhluk ciptaan-Nya mengabdi kepada Allah. Jika manusia tidak mau beriman dan beribadah kepada Allah, maka derajatnya akan lebih rendah dari hewan (QS. Al A'raaf, 7 : 179), karena semua makhluk-Nya tunduk, patuh dan taat kepada Allah.

Wallahu 'alam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar