“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir
dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan
rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah
bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang
menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan
kamu telah fasik.” (QS Al-Ahqaaf [46] : 20)
Sahabat, siapapun pasti mengerti bahwa di dunia
ini kita harus mencari kebahagiaan. Namun keberhasilan dalam memperolehnya
tidak berarti kita harus mengorbankan kebenaran yang kita anut, bahkan
menghalalkan segala cara. Manusia tidak boleh melanggar tapal batas moralitas
dan taqwa demi meraih keuntungan material. Biasanya kecenderungan material
timbul dari keserakahan yang tak terkendali. Orang serakah memang tak pernah
puas dengan harta dunia, persis seperti api membakar semua bahan bakar yang
diberikan. Ketahuilah, bila keserakahan telah menguasai diri kita, ia akan
mengubah kehidupan sosial kita menjadi medan pertengkaran dan perpecahan
sebagai ganti dari keadilan, keamanan, dan kedamaian. Secara alami dalam
masyarakat semacam itu keseluruhan moral dan rohani tidak mendapat kesempatan.
Sebuah realita yang memprihatinkan, kebanyakan
kita telah menjadi hamba perut yang hidupnya seakan hanya untuk makan dan
mencari kesenangan dengan mengabaikan tuntutan Ilahi. Ketahuilah, perut adalah
sumber penyakit dan malapetaka, sumber keinginan dan syahwat yang kemudian
diikuti oleh syahwat seksual. Syahwat perut dan kemaluan adalah penyebab
timbulnya cinta akan kedudukan dan harta. Bahkan syahwat perut menjadi sebab
dikeluarkannya Nabi Adam dan Hawa dari kampung yang kekal (surga) ke kampung
yang fana (dunia).
Orang yang cenderung menjadi hamba perutnya
identik dengan kekikiran (bakhil). Hartanya tidak boleh susut sedikitpun, serba
menghitung dan menjumlah miliknya. Setiap saat ia memeluk hartanya melebihi
pelukannya terhadap istrinya. Kalau ia berpergian, hartanya berada di dalam
kepalanya. Kalau ia tidur, hartanya ibarat bantal gulingnya. Apabila orang
bertamu ke rumahnya, keningnya berkerut khawatir kalau yang datang meminta
shadaqah kepadanya. Ia lebih suka berdiam diri di rumah dan jarang bergaul
dengan masyarakatnya. Karena takut kebersamaannya akan mengeluarkan hartanya
untuk macam-macam keperluan masyarakat. Ia suka kepada kemewahan dan suka juga
pada kebakhilan. Itulah manusia yang menjadi hamba perutnya.
Itulah keserakahan yang tak pernah memberi
kepuasan. Bermewah-mewah adalah sesuatu yang sangat disukai oleh hawa nafsu.
Kemewahan apabila telah melampaui batas akan menimbulkan pemborosan. Pemborosan
adalah cikal bakal kemiskinan dan kemelaratan. Sedangkan kemelaratan adalah
bibit kekufuran. Bahkan kemaksiatan dilahirkan dari induk yang bernama
kemewahan. Orang dapat membeli apa saja dengan uang, bahkan dapat membeli
kemaksiatan dalam bentuk apapun. Sedikit sekali orang yang mau membeli
kebaikan, kearifan dan keadilan melalui kemewahan.
Islam menentang hidup yang berlebihan sampai
melampaui batas. Sebab malapetaka yang timbul akibat keserakahan,
keangkaramurkaan dan rayuan harta yang melemahkan tidak saja menimpa dunia,
tetapi juga di akhirat akan tetap mengancam. Bukalah lembaran Al-Qur’an yang
mulia, di dalamnya ada sekelumit kisah suatu umat yang pernah tenggelam dalam
keserakahan, kesenangan dan kekafiran. Oleh Allah, kaum seperti ini kemudian
dihinakan dengan azab yang sangat pedih.
Mengapa banyak manusia serakah? Keserakahan
timbul akibat rasa takut kehilangan sesuatu yang dimilikinya dan kecintaan
terhadap dunia yang berlebihan. Imam Baqir pernah menasihati: “Perumpamaan
orang serakah di dunia adalah ibarat ular sutra. Makin banyak sutra yang
dijalinnya sekeliling dirinya, makin kecil kesehatannya untuk bertahan hidup
hingga akhirnya ia lemas sendiri. Sahabat, memohonlah selalu kepada Allah,
Dia-lah tempat kita berlindung dan memohon ampunan dari kejahatan diri dan
buruknya perbuatan kita. Ketahuilah, bagi setiap orang yang berakal pasti
memahami bahwa kehidupan yang materialistis tidak pernah menghadirkan kecukupan
dalam pencariannya tentang dunia. Sebab meneguk harta dunia ibarat meminum air
asin, semakin banyak menelannya semakin haus kita dibuatnya.
Ya Allah, Rabb pemberi segala kemuliaan.
Hadirkanlah dalam hati kami sifat menerima segala apapun yang Engkau berikan.
Tetapkanlah jiwa kami untuk selalu bersyukur atas apa yang Engkau karuniakan.
Janganlah Engkau biarkan hati kami selalu condong kepada keduniaan.
Penulis : Ustadz Anwar Anshori Mahdum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar