Untuk contoh “lamunan dalam shalat”, silakan simak curhat dari Dr. Ir. TA Fauzi, seorang dosen ITB, sebagaimana termuat di buku Pelatihan Shalat Khusyu’ (hlm. 124):
Saya masih bingung. Bila ada jawaban masalah duniawi terlintas di pikiran sewaktu shalat, apakah itu ilham yang saya dapatkan atau[kah] shalat saya tidak khusyu. Apakah ilham harus diperoleh setelah shalat atau[kah] dapat sewaktu shalat?
Terhadap lamunan atau pikiran yang menyimpang (dari tujuan shalat) seperti itu, bagaimana sebaiknya?
Saya yakin, ilham itu bisa dan boleh
diperoleh sewaktu kita bershalat. Landasan saya adalah pengakuan Umar
r.a. sebagaimana termuat di buku Pedoman Shalat (hlm. 217): “Sesungguhnya aku merencanakan pengerahan pasukanku saat aku bershalat.” (HR Bukhari)
Untuk contoh, bayangkanlah bahwa Anda sedang merasa geram menyaksikan
darah mengalir di Palestina dan Libanon gara-gara ganasnya serbuan
pasukan Israel. Lantas, Anda bershalat dengan tujuan: “ingat bahwa Allah
Mahaperkasa”. Dengan shalat ini, Anda berharap Allah berkenan
menjadikan para warga sipil di tempat tersebut perkasa dalam menghadapi
kegetiran hidup.
Di dalam shalat ini, tahu-tahu teringatlah Anda pada kata-kata Mihaly
Csikzentmihaly (salah seorang pelopor Psikologi Positif) yang pernah
Anda baca bahwa tegang itu positif apabila terjadi dalam keadaan yang tepat. “Kegairahan sewaktu tegang merupakan keadaan khusyuk (flow)-saat Anda begitu terlibat, sehingga hal lain menjadi tidak penting.”
Dapatkah Anda mengaitkan pikiran tersebut dengan gagasan “Allah Mahaperkasa”?
Saya yakin, sebenarnya kita semua mampu mengaitkan pikiran apa pun
dengan tujuan shalat kita. Hanya saja, memang ada kalanya kemampuan ini
tidak keluar. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Di antaranya, mungkin
Anda kurang berani mengait-ngaitkannya lantaran khawatir, jangan-jangan
ini malah menjauhkan Anda dari tujuan shalat Anda. Jika Anda berada
dalam keadaan begini, maka tolaklah lamunan atau pikiran yang menyimpang
dari tujuan. Silakan Anda menyingkirkan pikiran yang menyimpang
tersebut, lalu kembalilah berfokus pada tujuan shalat Anda, yakni ingat
bahwa Allah Mahaperkasa.
Akan tetapi, saat menyadari “penyimpangan” tersebut, bisa saja Anda
berusaha mengait-ngaitkan. Mula-mula, Anda membayangkan bahwa Umar r.a.
mungkin merasa tegang dan bergairah saat merencanakan pengerahan
pasukannya sewaktu ia bershalat (sebagaimana termaktub di atas). Anda
berpikiran, ketegangannya ini menunjukkan bahwa tingkat kewaspadaannya
dalam menghadapi musuh sangat tinggi. Sedangkan kegairahannya
mengisyaratkan tingginya semangat jihadnya. Lantaran ketegangan dan
sekaligus kegairahan ini, Umar menjadi begitu perkasa. Keperkasaannya
terbukti dengan takluknya dua negara adidaya ketika itu, yakni Persia
dan Romawi Timur. Padahal, kedua negara ini sudah mapan selama ratusan
tahun, sedangkan kekhalifahan Islam yang dipimpin oleh Umar itu baru
beberapa tahun berdirinya. Kalau bukan lantaran pertolongan Allah Yang
Mahaperkasa, mungkinkah pasukan Umar mampu menaklukkan pasukan
negara-negara adidaya tersebut? Ah, ternyata Allah memang Mahaperkasa,
jauh lebih perkasa daripada negara-negara adidaya!
Dengan mengait-ngaitkan pikiran-pikiran seperti itu, akhirnya
berhasillah Anda mengaitkan pikiran Anda yang semula tampak “menyimpang”
(yakni ingatan mengenai kata-kata Csikzentmihaly) dengan tujuan shalat
Anda (yaitu ingat bahwa Allah Mahaperkasa).
Sewaktu mengait-ngaitkan pikiran-pikiran tersebut, mungkin pikiran
Anda tegang dan bergairah membayangkan betapa perkasanya pasukan Umar
ketika itu. Seolah-olah, Anda sedang menyaksikan film action kegemaran Anda dengan teknologi home theatre tercanggih.
Dengan tegangnya dan bergairahnya pikiran Anda dalam shalat ini,
apakah Anda tidak khusyuk? Belum tentu! Ini tergantung pada definisi
kita.
Banyak orang beranggapan, “Pelaku shalat yang khusyuk adalah yang pikirannya tenang.” Namun, definisi saya:
Khusyuk dalam shalat adalah berfokusnya pikiran pada tujuan shalat.
Dengan definisi ini, pikiran Umar r.a. yang sangat aktif
ketika bershalat (sampai merencanakan pengerahan pasukan) masih bisa
kita golongkan sebagai khusyuk. Bahkan, entah tenang entah tegang
pikiran Anda, shalat Anda pun tergolong khusyuk selama Anda memfokuskan
pikiran Anda pada tujuan shalat Anda. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar